100⁺ Rumah Adat di Indonesia + Gambar dan Nama-nya
Nama-nama Rumah Adat 🏚️ dari semua Provinsi di Indonesia dengan Gambar dan asalnya, serta contoh artikel Rumah Adat dari 34 atau 38 Provinsi di Indonesia.
Poster 1 lembar gambar 34 Rumah Adat di Indonesia.
DOWNLOAD : 34 Rumah adat Indonesia file Pdf
Gambar poster animasi kartun 34 Rumah Adat Nusantara.
DOWNLOAD : Animasi 34 Rumah adat Indonesia file pdfRUMAH ADAT DI INDONESIA
Rumah tradisional atau Rumah adat adalah rumah yang dibangun dengan cara yang sama dari generasi kegenerasi dan tanpa atau dikit sekali mengalami perubahan. Rumah tradisional dapat juga dikatakan sebagai rumah yang dibangun dengan memperhatikan kegunaan, serta fungsi sosial dan arti budaya dibalik corak atau gaya bangunan. Penilaian kategori rumah tradisonal dapat juga dilihat dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat ketika rumah tersebut didirikan misalnya seperti untuk upacara adat.
Rumah tradisional ialah ungkapan bentuk rumah karya manusia yang merupakan salah satu unsur kebudayaan yang tumbuh atau berkembang bersamaan dengan tumbuh kembangnya kebudayaan dalam masyarakat. Ragam hias arsitektur pada rumah tradisional merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan. Rumah tradisional merupakan komponen penting dari unsur fisik cerminan budaya dan kecendrungan sifat budaya yang terbentuk dari tradisi dalam masyarakat. Rumah tradisional ialah sebagai hasil karya seni para aksitektur tradisional. Dari rumah tradisional masyarakat dapat melambangkan cara hidup, ekonomi dan lain-lain. Di Indonesia setiap daerah mempunyai rumah tradisional yang beragam karena beragamnya budaya dalam setiap daerah yang ada di Indonesia.
Berikut ini adalah macam-macam rumah adat yang ada di Indonesia
1. Rumah Adat Provinsi Aceh
Rumoh AcehRumah Aceh "Rumoh Aceh" atau "Rumah Krong Bade" merupakan rumah adat dari suku Aceh. Rumah ini bertipe rumah panggung dengan 3 bagan utama dan 1 bagian tambahan. Tiga bagian utama dari rumah Aceh yaitu seuramoë keuë (serambi depan), seuramoë teungoh (serambi tengah) dan seuramoë likôt (serambi belakang). Sedangkan 1 bagian tambahannya yaitu rumoh dapu (rumah dapur). Atap rumah berfungsi sebagai tempat penyimpanan pusaka keluarga.
Bagi suku bangsa Aceh, segala sesuatu yang akan mereka lakukan, selalu berlandaskan kitab adat. Kitab adat tersebut dikenal dengan Meukeuta Alam. Salah satu isi di dalam terdapat tentang pendirian rumah. Di dalam kitab adat menyebutkan: "Tiap-tiap rakyat mendirikan rumah atau masjid atau balai-balai atau meunasah pada tiap-tiap tiang di atas itu hendaklah dipakai kain merah dan putih sedikit". Kain merah putih yang dibuat khusus di saat memulai pekerjaan itu dililitkan di atas tiang utama yang di sebut tamèh raja dan tamèh putroë”. karenanya terlihat bahwa Suku Aceh bukanlah suatu suku yang melupakan apa yang telah diwariskan oleh nenek moyang mereka.
Dalam kitab tersebut juga dipaparkan bahwa; dalam Rumoh Aceh, bagian rumah dan pekarangannya menjadi milik anak-anak perempuan atau ibunya. Menurut adat Aceh, rumah dan pekarangannya tidak boleh di pra-é, atau dibelokkan dari hukum waris. Jika seorang suami meninggal dunia, maka Rumoh Aceh itu menjadi milik anak-anak perempuan atau menjadi milik isterinya bila mereka tidak mempunyai anak perempuan.Untuk itu, dalam Rumah Adat Aceh, istrilah yang dinamakan peurumoh, atau jiak diartikan dalam bahasa Indonesia adalah orang yang memiliki rumah.
Umah Pitu Ruang
Umah Pitu Ruang yang didalam bahasa Indonesia berarti "Rumah Tujuh Ruang" yaitu rumah adat masyarakat suku Gayo provinsi Aceh. Rumah ini berbentuk panggung yang terdiri dari tujuh ruang di atas, sedangkan dibawahnya difungsikan sebagai tempat penyimpanan perkakas pertanian dan kayu bakar. Rumah adat ini memiliki keunikan yaitu pada pembuatan susunan rumah tidak menggunakan paku. Melainkan dengan dipasak dengan kayu dengan bermacam-macam ukiran di setiap kayunya. Ukiran tersebut berbeda-beda, ada yang berbentuk hewan sampai dengan ukiran seni Kerawang Gayo dengan pahatan khusus.
Berdasarkan asal usul nya Rumah Adat Tujuh Ruang (Umah Edet Pitu Ruang) adalah peninggalan raja Baluntara yang nama aslinya Jalaluddin. Sudah berdiri dari sejak jaman pra-kemerdekaan sebelum kolonial Belanda masuk. Rumah adat Tujuh Ruang ini menjadi bukti sejarah dari orang asli Gayo yang sampai sekarang masih ada.
2. Rumah Adat Provinsi Sumatra Utara
Rumah BolonRumah Bolon atau Rumah Balai Batak Toba adalah rumah adat dari suku Batak yang ada di Indonesia. Rumah Bolon berasal dari daerah Sumatra Utara. Rumah Bolon adalah simbol dari identitas masyarakat Batak yang tinggal di Sumatra Utara. Pada zaman dahulu kala, rumah Bolon adalah tempat tinggal dari 13 raja yang tinggal di Sumatra Utara. 13 Raja tersebut adalah Raja Ranjinman, Raja Nagaraja, Raja Batiran, Raja Bakkaraja, Raja Baringin, Raja Bonabatu, Raja Rajaulan, Raja Atian, Raja Hormabulan, Raja Raondop, Raja Rahalim, Raja Karel Tanjung, dan Raja Mogam. Ada beberapa jenis rumah Bolon dalam masyarakat Batak yaitu rumah Bolon Toba, rumah Bolon Simalungun, rumah Bolon Karo, rumah Bolon Mandailing, rumah Bolon Pakpak, rumah Bolon Angkola. Setiap rumah mempunyai ciri khasnya masing-masing. Sayangnya, rumah Bolon saat ini jumlah tidak terlalu banyak sehingga beberapa jenis rumah Bolon bahkan sulit ditemukan. Saat ini, rumah bolon adalah salah satu objek wisata di Sumatra Utara. Rumah Bolon adalah salah satu budaya Indonesia yang harus dilestarikan.
Rumah Adat Karo
Rumah adat Sumatera Utara yang terkenal berikutnya adalah rumah adat Karo yang juga dikenal sebagai rumah adat Siwaluh Jabu. Siwaluh Jabu memiliki pengertian sebuah rumah yang didiami delapan keluarga. Masing-masing keluarga memiliki peran tersendiri di dalam rumah tersebut. Di dalam rumah tak ada sekatan satu ruangan lepas. Namun pembagian ruangan tetap ada, yakni di batasi oleh garis-garis adat istiadat yang kuat, meski garis itu tak terlihat. Masing-masing ruangan mempunyai nama dan siapa yang harus menempati ruangan tersebut, telah ditentukan pula oleh adat. Penempatan keluarga-keluarga dalam Rumah Adat Karo Sumatera Utara ditentukan oleh adat Karo. Secara garis besar rumah adat ini terdiri atas jabu jahe (hilir) dan jabu julu (hulu). Jabu jahe juga dibagi menjadi dua bagian, yaitu jabu ujung kayu dan jabu rumah sendipar ujung kayu.
Rumah Adat Pakpak
Rumah adat Pakpak memiliki bentuk yang khas yang dibuat dari bahan kayu dengan atap dari bahan ijuk. Bentuk desain Rumah Adat Pakpak Sumatera Utara selain sebagai wujud seni budaya Pakpak, setiap bentuk desain dari bagian-bagian Rumah Adat Pakpak tersebut memiliki arti tersendiri. Jika diteliti dengan cermat dan diketahui maknanya, maka cukup dengan melihat rumah adat Pakpak akan bisa mendeskripsikan bagaimana Suku Pakpak berbudaya.
Rumah Adat Mandailing
Rumah Adat Batak Mandailing disebut sebagai Bagas Godang sebagai kediaman para raja, terletak disebuah kompleks yang sangat luas dan selalu didampingi dengan Sopo Godang sebagai balai sidang adat. Bangunannya mempergunakan tiang-tiang besar yang berjumlah ganjil sebagaimana juga jumlah anak tangganya.
Bangunan arsitektur tradisional Rumah Adat Batak Mandailing Sumatera Utara adalah bukti budaya fisik yang memiliki peradaban yang tinggi. Sisa-sisa peninggalan arsitektur tradisional Batak Mandailing masih dapat kita lihat sampai sekarang ini dan merupakan salah satu dari beberapa peninggalan hasil karya arsitektur tradisional bangsa Indonesia yang patut mendapat perhatian dan dipertahankan oleh Pemerintah dan masyarakat baik secara langsung baik tidak langsung.
Rumah Adat Simalungun
Batak Simalungun berdiam di sebagian wilayah Deli Serdang sebelah Timur Danau Toba. Rumah adatnya berbentuk panggung dengan lantai yang sebagian disangga balok-balok besar berjajar secar horizontal bersilangan. Balok-balok ini menumpu pada pondasi umpak. Dinding rumah agak miring dan memilliki sedikit bukaan/jendela. Atapnya memilliki kemiringan yang curam dengan bentuk perisai pada sebagian besar sisi bawah, sedang sisi atas berbentuk pelana dengan gevel yang miring menghadap ke bawah. Pada ujung atas gevel biasanya dihiasi dengan kepala kerbau. Tanduknya dari kerbau asli dan kepalanya dari injuk yang dibentuk. Bagian-bagian konstruksi Rumah Adat Batak Simalungun Bolon diukir, dicat serta digambar dengan warna merah, putih dan hitam. Selain sarat dengan nilai filosofis, ornamentasi rumah memiliki keunggulan dekoratif dalam memadukan unsur alam dan manusia dengan unsur geometris.
Rumah Adat Batak Simalungun Bolon menyampaikan sebuah ungkapan pertemuan masyarakat dapat dimunculkan dengan bentuk geometri segi empat yang ditengahnya diberi lingkaran lalu diberi corak ragam hias manusia beruang berkeliling lingkaran. Menyampaikan sebuah ungkapan hubungan dua manusia ditampilkan dengan bentuk geometri kotak melambangkan dekorasi badan manusia di mana bagian atas dan bawahnya diberi kepala dalam posisi berlawanan arah. Corak ragam ornamen Rumah Adat Batak Simalungun Bolon ini selalu berulang, melalui proses tradisi turun temurun, berkembang dan berpadu saling melengkapi dengan bentuk dekorasi lain.
Rumah Adat Nias
Rumah adat Nias (bahasa Nias: Omo Hada) adalah suatu bentuk rumah panggung tradisional orang Nias, yaitu untuk masyarakat pada umumnya. Selain itu terdapat pula rumah adat Nias jenis lain, yaitu Omo Sebua, yang merupakan rumah tempat kediaman para kepala negeri (Tuhenori), kepala desa (Salawa), atau kaum bangsawan.
Rumah panggung ini dibangun di atas tiang-tiang kayu nibung yang tinggi dan besar, yang beralaskan rumbia. Bentuk denahnya ada yang bulat telur (di Nias utara, timur, dan barat), ada pula yang persegi panjang (di Nias tengah dan selatan). Bangunan rumah panggung ini tidak berpondasi yang tertanam ke dalam tanah, serta sambungan antara kerangkanya tidak memakai paku, hingga membuatnya tahan goyangan gempa. Ruangan dalam rumah adat ini terbagi dua, pada bagian depan untuk menerima tamu menginap, serta bagian belakang untuk keluarga pemilik rumah.
Rumah Omo Sebua
Omo Sebua adalah jenis rumah adat atau rumah tradisional dari Pulau Nias, Sumatra Utara. Omo sebua adalah rumah yang khusus dibangun untuk kepala adat desa dengan tiang-tiang besar dari kayu besi dan atap yang tinggi. Omo sebua didesain secara khusus untuk melindungi penghuninya daripada serangan pada saat terjadinya perang suku pada zaman dahulu. Akses masuk ke rumah hanyalah tangga kecil yang dilengkapi pintu jebakan. Bentuk atap rumah yang sangat curam dapat mencapai tinggi 16 meter. Selain digunakan untuk berlindung dari serangan musuh, omo sebua pun diketahui tahan terhadap goncangan gempa bumi.
Omo Hada Laraga
Omo Hada Laraga adalah salah satu jenis rumah adat Nias. Rumah ini berasal dari daerah Nias Utara dan memiliki ciri berbentuk oval. Rumah ini didirikan dari kayu dengan atap daun rumbia. Suasana rumah sejuk dengan ventilasi yang memadai. Pembedanya dari jenis rumah adat Nias lainnya yaitu bentuknya yang oval dengan atap rumbia yang curam dan tinggi. Bagian dinding terbuka di bagian atas, namun diapit horizontal dengan kutub kayu. Ini memungkinkan aliran udara yang baik serta perlindungan bagi penghuninya. Di dalam rumah juga terdapat berbagai ukiran. Sudut yang ereng memberikan posisi yang menguntungkan bagi penghuni rumah saat terjadi serangan dari luar. Sebuah tangga kayu mengarah ke serambi kecil yang tertutup yang berfungsi sebagai pintu masuk rumah.
Rumah Adat Angkola
Angkola merupakan salah satu etnis yang berdiri sendiri, walaupun banyak orang yang menyamakannya dengan mandailing. Rumah adat tersebut juga dinamai dengan Bagas dan Gondang seperti halnya rumah adat Mandiling. Tetapi tetap ada beberapa perbedaan diantara rumah adat keduanya. Rumah adat Angkola yang berasal dari Sumatera Utara mempunyai ciri atap yang terbuat dari bahan ijuk dan dindingnya terbuat dari papan. Salah satu ciri khas dari rumah adat tersebut adalah selalu menggunakan warna yang dominan hitam.
Rumah adat Bagas Godang
Bagas Godang adalah Rumah adat atau arsitektur tradisional Suku Mandailing dengan konstruksi yang khas. Rumah besar ini dahulu sebagai tempat tinggal atau tempat istirahat raja. Berbentuk empat persegi panjang yang disangga kayu-kayu besar berjumlah ganjil. Ruang terdiri dari ruang depan, ruang tengah, ruang tidur, dan dapur. Terbuat dari kayu, berkolong dengan tujuh atau sembilan anak tangga, berpintu lebar dan berbunyi keras jika dibuka. Kontruksi atap berbentuk tarup silengkung dolok, seperti atap pedati. Satu komplek dengan Bagas Godang terdapat Sopo Godang, Sopo Gondang, Sopo Jago, dan Sopo Eme. Keseluruhan menghadap ke Alaman Bolak.
Alaman Bolak adalah sebuah bidang halaman yang sangat luas dan datar. Selain berfungsi sebagai tempat prosesi adat, juga menjadi tempat berkumpul masyarakat. Sering juga disebut alaman bolak silangse utang. Maksudnya, siapapun yang lari kehalaman ini mencari keselamatan, ia akan dilindungi raja.
Sopo Godang adalah tempat memusyawarahkan peraturan adat. Selain itu, tempat ini juga dijadikan untuk pertunjukan kesenian, tempat belajar adat dan kerajinan, bahkan juga tempat musyafir bermalam. Berbagai patik, uhum, ugari dan hapantunan lahir dari tempat ini. Juga disiapkan untuk menerima tamu-tamu terhormat. Dirancang berkolong dan tidak berdinding agar penduduk dapat mengikuti berbagai kegiatan di dalamnya. Karenanya Sopo Godang juga disebut Sopo Sio Rangcang Magodang, inganan ni partahian paradatan, parosu-rosuan ni hula dohot dongan. Artinya, Balai Sidang Agung, tempat bermusyawarah melakukan sidang adat, menjalin keakraban para tokoh terhormat dan para kerabat.
Sopo Jago adalah tempat naposo bulung duduk-duduk sambil menjaga keamanan desa.
Sopo Gondang adalah tempat menyimpan Gorgang Sambilan atau alat-alat seni kerajaan lain. Alat-alat itu biasanya dianggap sakral.
Sopo eme atau hopuk adalah tempat menyimpan padi setelah dipanen, lambang kemakmuran bagi huta.
Seluruh komplek bangunan bagas godang pada masa lalu tidak berpagar. Sekalipun raja yang menempatinya, tetapi seluruh bangunan ini dianggap sebagai milik masyarakat dan dimuliakan warga huta.
3. Rumah Adat Provinsi Sumatra Barat
Rumah GadangRumah Gadang adalah nama untuk rumah adat Minangkabau yang merupakan rumah tradisional dan banyak di jumpai di provinsi Sumatra Barat, Indonesia. Rumah ini juga disebut dengan nama lain oleh masyarakat setempat dengan nama Rumah Bagonjong atau ada juga yang menyebut dengan nama Rumah Baanjuang.
Rumah dengan model ini juga banyak dijumpai di sumatra barat, Namun tidak semua kawasan di Minangkabau (darek) yang boleh didirikan rumah adat ini, hanya pada kawasan yang sudah memiliki status sebagai nagari saja Rumah Gadang ini boleh didirikan. Begitu juga pada kawasan yang disebut dengan rantau, rumah adat ini juga dahulunya tidak ada yang didirikan oleh para perantau Minangkabau.
Rumah Gadang 13 Ruang Suku Dalimo
Rumah Gadang 13 Ruang Suku Dalimo adalah rumah adat tradisional Minangkabau yang dibuat oleh masyarakat Suku Dalimo dan termasuk cagar budaya Indonesia. Tidak seperti rumah gadang pada umumnya yang memiliki sembilan ruang, rumah gadang ini memiliki 13 ruang dengan fungsi tertentu.
Rumah gadang 13 Ruang terletak di Jalan Sungai Jodi, Desa Sungai Jodi, Kecamatan Lubuk Tarok, Sijunjung, Sumatra Barat. Pada awalnya, rumah gadang ini memiliki 17 ruang yang merupakan milik kelarasan Koto Piliang. Ciri khasnya ditandai dengan anjuang, yaitu bagian lantai pada sisi samping kanan (Timur) rumah yang ditinggikan.
Rumah Gadang 20 Ruang
Rumah Gadang 20 Ruang adalah sebuah rumah Gadang yang terpanjang di Sumatra Barat. Secara geografis terletak di Nagari Sulit Air, X Koto Diateh Jorong Silungkang, Solok. Bangunan ini terdaftar sebagai cagar budaya dengan nomor inventaris 03/BCB-TB/A/15/2007 di Balai Pelestarian Cagar Budaya Batusangkar. dari sejarahnya, bangunan ini dinamakan rumah gadang 20 ruang karena bilik atau kamar pada rumah ini terdiri dari 20 buah. Rumah Gadang 20 ruang dibangun pada tahun 1820, tetapi bangunan ini terbakar dan kemudian didirikan kembali pada tahun 1901 selesai pada tahun 1907. Pembagunan rumah Gadang 20 Ruang setelah terbakar tidak dibangun lagi sesuai aslinya. Rumah Gadang yang pertama atapnya terbuat dari ijuk dan dinding semuanya diukir tetapi pada saat pembangunan kembali,terjadi perubahan pada bagian atab dan dinding. sekarang, Atapnya memakai seng dan bagian dindingnya tidak lagi diukir tapi polos.
Rumah Gadang Baanjuang Tanjung Raya
Rumah Gadang Baanjuang adalah salah satu objek wisata berupa bangunan Rumah Gadang, rumah adat suku Minangkabau yang terletak di Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatra Barat. Bangunan ini juga dikenal dengan nama Rumah Gadang Baanjuang Nur Sutan Iskandar karena rumah ini merupakan milik keluarga sastrawan Nur Sutan Iskandar, seorang sastrawan Angkatan Pujangga Baru dan Balai Pustaka. Rumah ini sekarang dipelihara oleh ahli warisnya yang bernama Ibu Romlah, adik bungsu Sutan Iskandar dari lain ibu. Bangunan ini telah dimasukkan ke dalam situs cagar budaya Indonesia dengan SK Menteri NoPM.86/PW.007/MKP/2011 kategori Benda Cagar Budaya tahun 2011 dengan nomor Registrasi Nasional RNCB.20111017.02.000615, dan saat ini dikelola oleh BP3 Batusangkar.
Rumah Gadang Kajang Padati
Rumah Gadang Kajang Padati adalah rumah gadang di Minangkabau yang tidak memiliki atap berbentuk gonjong, melainkan mengadopsi bentuk atap pedati yang berupa atap pelana, tetapi melancip di ujung-ujungnya. Rumah gadang ini dapat ditemukan di Padang, khususnya di daerah Kuranji, Pauh, dan Koto Tangah. Pada masa Kesultanan Aceh, terdapat aturan rumah gadang tidak boleh meniru rumah gadang di darek, tetapi harus ada paduan Aceh dengan Minangkabau. Oleh karena itu, rumah gadang ini mendapat pengaruh dari Aceh, terutama pada bentuk tangga dan ukirannya.
Rumah Gadang Kampai Nan Panjang
Rumah Gadang Kampai Nan Panjang adalah rumah adat tradisional Minangkabau milik Datuk Penghulu Basa dari Suku Kampai Nan Panjang. Rumah gadang ini terletak di Nagari Belimbing (sekitar 13 km dari Batusangkar), Kecamatan Rambatan, Kabupaten Tanah Datar, Sumatra Barat. Berusia lebih kurang 300 tahun, konstruksinya sebagian besar tidak mengalami perubahan hingga saat ini.
Rumah Gadang Kampai Nan Panjang merupakan rumah tempat tinggal yang memiliki arsitektur bergaya khas Minang dengan atap yang bergonjong empat dan terbuat dari ijuk. Keseluruhan bangunan bagian luar terdiri dari kayu berwarna hitam. Hanya terdapat satu pintu masuk ke bagian dalam rumah dan tangganya tepat berada di tengah-tengah. Bangunan ini terdiri dari tujuh bilik (kamar), yang masing-masing berukuran 1,5 x 3 meter persegi. Biasanya rumah gadang memiliki ruangan dalam jumlah yang ganjil, bisa 5, 7,9 dan seterusnya, tetapi pada umumnya jumlah ruang yang ada adalah sambilan ruang. Bentuknya persegi empat dan atapnya terbuat dari ijuk. Ruangan bagian tengah rumah gadang ini merupakan ruangan terbuka tanpa sekiat dan bilik. Pintu utamanya hanya satu dan terletak di bagian tengah. Dinding bagian luar dan dalam polos tidak ada ukiran. Ruangan dalam bagian belakang merupakan bilik-bilik yang berfungsi sebagai kamar tidur. Pintu bilik berukuran oval dengan diameter sangat kecil (30 cm) sehingga untuk masuk ke dalam bilik harus membungkuk.
Seperti rumah gadang pada umumnya, rumah ini dibangun tanpa menggunakan paku. Rumah ini tidak berplafon sehingga langsung terlihat tulang-tulang yang menyusun rangka atapnya, hanya di bagian ujung sebelah kiri yang ada bagian seperti loteng tempat penyimpanan. Lantainya rata dan tidak ada anjung di bagian ujung, dilapisi bilah bambu yang bersusun-susun. Sepanjang rumah bagian belakang yang menuju kamar terdapat bagian lantai yang lebih tinggi satu anak tangga membujur serta membentuk huruf "U" ke ujung kiri dan kanan.
Rumah panjang Uma
Uma adalah nama untuk rumah tradisional suku Mentawai yang merupakan rumah adat dan banyak di jumpai di kabupaten Kepulauan Mentawai, provinsi Sumatra Barat, Indonesia. Uma ini dihuni oleh secara bersama oleh lima sampai sepuluh keluarga. Secara umum konstruksi uma ini dibangun tanpa menggunakan paku, tetapi dipasak dengan kayu serta sistem sambungan silang bertakik.
Dalam rumah Uma ini, selain rumah utamnya, terdapat bagian-bagian lain, yang masing masing memiliki nama dan fungsi tersendiri. Ruangan utama dinamakan Lalep. Bagian ini adalah tempat tinggal bagi sepasang suami istri, yang pernikahannya disahkan secara adat. Bagian ini terdapat di dalam Rumah Uma. Bagian yang ke dua dinamakan Rusuk. Baian ini merupakan tempat atau ruang khusus, yang diperuntukkan bagi anak-anak muda, para janda untuk bernaung, dan mereka yang di asingkan karena melanggar aturan adat Suku Mentawai. Dari segi konstruksi, Rumah Uma ini memiliki panjang sekitar 30 meter, dengan lebar 10 meter dan memiliki tinggi sekitar 7 meter.
Rumah gadang di Nagari Sumpur
Arsitektur Rumah gadang di Nagari Sumpur memiliki karakter lokalitas (arsitektur vernakular) yang ditunjukkan dengan interaksi antara masyarakat Sumpur dengan lingkungan alam mereka. Rumah gadang Sumpur sarat dengan simbol-simbol yang diartikulasikan melalui bentuk atap, jumlah tiang dan ruang atau biliak, anjungan, peninggian lantai, serta ukiran-ukiran yang ada di rumah gadang.
Selain ruangan utama yang dibuat berdasar kebutuhan utama, ada juga bangunan yang dibangun di luar bangunan utama yaitu, sebagai tempat menyimpan cadangan makanan, seperti padi dan hasil-hasil perkebunan, bangunan ini disebut lumbung atau dalam bahasa minang disebut lumbuang padi, atau rangkiang.
Saat Perang Paderi tahun 1821-1837 banyak rumah gadang yang berkurang oleh karena kondisi sosial politik masa perang, banyak rumah gadang dibakar dan hancur di Nagari Sumpur Kecamatan Batipuh Selatan Kabupaten Tanah Datar terdapat sekitar 200 lebih rumah gadang, sebagian besar berada di Jorong Nagari, yaitu salah satu jorong di Nagari Sumpur, sejalan waktu Jumlah tersebut berkurang secara drastis, terutama disebabkan oleh terjadinya gejolak sosial-politik pemerintahan di masa perang Paderi.
Pada bulan Oktober 2013 jumlah rumah gadang yang ada di Nagari Sumpur tinggal 45 rumah. Kondisinya, ada 30 rumah yang masih layak huni, sedangkan 15 rumah yang tidak layak huni atau butuh renovasi. Berdasarkan jumlah ruangnya, rumah gadang di Nagari Sumpur dapat dikelompokkan ke dalam tiga klasifikasi, yaitu rumah gadang baanjuang kecil, rumah gadang bagonjong, rumah gadang baanjuang besar.
Rumah Gadang lainya juga dapat kita temukan di luar kawasan sumatra barat seperti Rumah Gadang Datuk Bisai di Kecamatan Kuantan Tangah, Kabupaten Kuantan Singingi, Provinsi Riau Dan Rumah Tradisional Negeri Sembilan di Negeri Sembilan, Malaysia.
4. Rumah Adat Provinsi Riau
Rumah Selaso Jatuh KembarRumah Adat Selaso Jatuh Kembar adalah rumah adat khas Daerah Riau yang berupa balai selaso jatuh. Balai atau rumah adat ini difungsikan sebagai tempat berkegiatan bersama, sebagai tempat pertemuan, tetapi tidak digunakan sebagai tempat tinggal pribadi. Rumah Adat Selaso Jatuh Kembar dikenal juga dengan sebutan balai penobatan, balirung sari, balai karapatan dan sebagainya. Dulu bangunan ini sangat ramai karena kerap digunakan oleh warga untuk melaksanakan acara-acara adat lokal, seperti musyawarah, penobatan kepala adat, untuk rapat perihal desa dan bahkan untuk melaksanakan upacara adat. Akan tetapi, sekarang semua itu telah digantikan oleh masjid.
Rumah Lontiok atau Lancang
Rumah Lancang atau pencalang merupakan nama salah satu rumah tradisional masyarakat Kabupaten Kampar, Provinsi Riau, Indonesia. Selain nama Rumah Lancang atau pencalang, rumah ini juga dikenal dengan sebutan Rumah Lontik. Nama lontik diberikan menurut bentuk perabung atapnya yang lentik ke atas, hal tersebut itu melambangkan: pada awal dan akhir hidup manusia akan kembali kepada penciptanya, Allah Yang Maha Besar, sedangkan lekukan pada pertengahan perabungnya melambangkan "Lembah Kehidupan" yang kadang kala penuh dengan berbagai ragam cobaan. Sebutan lain adalah Lancang atau Pencalang karena bentuk hiasan kaki dinding depannya mirip perahu. Bentuk dinding rumah miring keluar seperti miringnya dinding perahu layar mereka, dan jika dilihat dari jauh bentuk rumah tersebut seperti rumah-rumah perahu (magon) yang biasa dibuat penduduk.
Rumah Melayu Lipat Kajang
Karena menyerupai bentuk perahu, maka dinamakan Rumah Melayu Lipat Kajang. Bentuk bumbung curam yang disebut Lipat Kajang ini bisa memudahkan air hujan untuk turun. Seiring berkembangnya zaman dan makin maraknya konsep bangunan arsitektur modern, rumah adat ini sudah jarang ditemukan bahkan tidak digunakan lagi oleh masyarakat Riau.
5. Rumah Adat Provinsi Kepulauan Riau
Rumah Belah BubungRumah Belah Bubung adalah rumah adat dari kepulauan Riau yang berada di Indonesia. Rumah Belah Bubung juga dikenal dengan nama rumah rabung atau rumah bubung melayu. Konon, nama rumah ini diberikan oleh orang-orang asing yang datang ke Indonesia seperti Tiongkok dan Belanda. Rumah Belah Bubung memiliki model rumah yang sama dengan rumah panggung. Rumah ini memiliki tinggi 2 meter dari tanah dan ditopang oleh beberapa tiang penyangga. Rumah ini memiliki atap yang berbentuk seperti pelana kuda. Rumah induk terbagi menjadi 4 bagian yaitu selasar, ruang induk, ruang penghubung dapur, dan dapur. Rumah Belah Bubung memiliki bahan dasar yaitu kayu. Proses pembangunan rumah pun tidak sembarangan karena harus melalui beberapa tahap yang dipercaya menghindari pemilik rumah dari kesialan. Ukuran rumah ini juga bergantung dari kemampuan ekonomi dari sang pemilik rumah. Semakin besar ukuran rumah ini memperlihatkan bahwa kemampuan ekonomi dari pemilik rumah adalah menengah ke atas, tetapi semakin kecil rumah ini menunjukkan bahwa ekonomi pemilik rumah menengah ke bawah.
Rumah Limas Potong
Rumah Limas Potong merupakan rumah tradisional yang dimiliki orang melayu yang tetap bertahan di tengah perkembangan jaman di dalam kawasan kota Batam yang sudah berdiri sejak November 1959, dibangun oleh Haji Abdul Karim. Jika melihat tahun pendiriannya memang rumah tradisional ini cukup tua dan sangat wajar dijadikan warisan sejarah bagi orang melayu. Keunikan dari nama Rumah Limas Potong berasal dari atapnya yang memiliki bentuk limas yang dipotong. Rumah Limas Potong berbentuk rumah panggung sama seperti umumnya rumah panggung yang ada di Sumatra. Rumah Limas Potong Tingginya sekitar 1,5 meter dan terbuat dari papan atau kayu. Untuk ukuran Besar kecilnya rumah maka akan ditentukan oleh kemampuan pemiliknya, semakin kaya seseorang semakin besar rumah dan ragam hiasnya.
6. Rumah Adat Provinsi Jambi
Rumah Panggung Kajang LekoRumah Panggung (Jambi) adalah nama rumah adat yang berasal dari daerah Jambi. Rumah ini terbuat dari kayu. Rumah ini juga dikenal dengan nama rumah Kajang Leko. Rumah ini terbagi ke dalam 8 ruangan. Ruangan pertama bernama jogan yang berfungsi sebagai tempat beristirahat anggota keluarga dan juga sebagai tempat untuk menyimpan air. Ruangan kedua adalah serambi depan yang berfungsi untuk menerima tamu lelaki. Ruangan ketiga adalah serambi dalam yang berfungsi sebagai tempat tidur anak lelaki. Ruang keempat adalah amben melintang yang berfungsi sebagai kamar pengantin. Ruang kelima adalah serambi belakang yang sebagai ruang tidur untuk anak-anak perempuan yang belum menikah. Ruang keenam digunakan untuk menerima tamu perempuan. Ruang ketujuh adalah garang yang digunakan sebagai tempat penyimpanan air. Kedelapan adalah dapur yang digunakan untuk memasak.
Rumah Tuo Rantau Panjang
Rumah Tuo Rantau Panjang secara administratif terletak di Provinsi Jambi, Kabupaten Merangin, Kecamatan Rantau Panjang, tepatnya di Desa Baruh. Terdapat sebuah perkampungan tua dengan rumah-rumah yang masih tradisional sebanyak 80 buah, walaupun sebagian rumah sudah ada yang menggunakan batu sebagai dinding dan pondasi rumah yang berada di kawasan rumah tuo Desa Baruh. Luas wilayah 1.750 Ha dengan kondisi geografis tanah yaitu perkebunan. Rumah Tuo Rantau Panjang merupakan salah satu situs cagar budaya yang berada di Merangin. Rumah yang dibangun pada tahun 1330 ini mulai ditetapkan sebagai situs cagar budaya pada tahun 1996. Meski dibangun pada tahun 1330, namun rumah ini baru mulai ditempati pada tahun 1332. Banyak penelitian yang telah dilakukan di rumah tuo rantau panjang ini, salah satunya penelitian mengenai arsitektur nya.
Perkampungan Rumah Tuo Rantau Panjang adalah sebuah lokasi perkampungan yang masih mempertahankan bangunan-bangunan tua/lama yang dibangun sekitar 300 - 400 tahun yang lalu. Disebut perkampungan rumah tuo, karena di kampung tersebut masih ada bangunan rumah tua yang didirikan tahun 1330, dan masih bertahan hingga sekarang.
7. Rumah Adat Provinsi Sumatra Selatan
Rumah LimasRumah Limas merupakan prototipe rumah tradisional Sumatra Selatan. Selain ditandai dengan atapnya yang berbentuk limas, rumah tradisional ini memiliki lantai bertingkat-tingkat yang disebut Bengkilas dan hanya dipergunakan untuk kepentingan keluarga seperti hajatan. Para tamu biasanya diterima diteras atau lantai kedua. Rumah Limas ini memiliki nama lain, yaitu Rumah Bari. Di Malaysia, rumah Limas ini juga banyak ditemukan di daerah Johor, Selangor dan Terengganu. konstruksi rumah limas adalah bentuk rumah panggung, di rumah ini banyak ditemukan berbagai ragam hias, yang menunjukkan identitas adat masyarakat.
Rumah Rakit
Rumah Rakit adalah rumah adat yang berasal dari Provinsi Sumatera Selatan. Rumah rakit merupakan salah satu rumah tertua di Provinsi Sumatera Selatan, diperkirakan sudah ada sejak zaman Kerajaan Sriwijaya. Rumah rakit dibangun di atas rakit dan mengapung di sepanjang pinggiran Sungai Musi, Sungai Ogan, dan Sungai Komering. Supaya tidak hanyut terbawa arus, rumah diikat pada sebuah serdang (penambat).
Rumah Ulu
Rumah ulu adalah salah satu dari tiga tipologi arsitektur rumah tradisional yang berada di wilayah Sumatra Selatan, dua yang lainnya adalah Rumah Limas dan Rumah Gudang. Rumah ini berasal dari dataran tinggi Besemah di barat dan menyebar ke arah timur dataran rendah pemukiman sepanjang sungai Ogan. Rumah Ulu berbentuk panggung dengan dinding berbentuk kotak dan atap berbentuk curam. Rumah ulu merupakan rumah tradisional warga yang bertempat tinggal di daerah hulu Sungai Musi, Sumatra Selatan. Secara etimologis, rumah ulu berasal dari kata uluan yang memiliki arti pedesaan. Uluan juga digunakan sebagai sebutan bagi masyarakat yang bermukim di bagian hulu Sungai Musi.
Ghumah Baghi
Ghumah Baghi atau Rumah Baghi, atau Ghumah Tatahan, merupakan rumah adat tradisional di Provinsi Sumatra Selatan yang dibangun oleh Suku Besemah (atau disebut juga Pasemah). Secara etimologis dalam Bahasa Indonesia Ghumah artinya Rumah, sedangkan Baghi (dibaca: bari) artinya tua. Selain diartikan sebagai rumah lama, tua atau kuno, bisa juga Ghumah Baghi disebut sebagai "rumah peninggalan zaman dahulu kala". Bagi komunitas masyarakat Suku Besemah Ghumah Baghi tidak sekadar tempat tinggal saja, melainkan juga sebagai simbol strata bagi si pemilik rumah dan dianggap sakral.
8. Rumah Adat Provinsi Bangka Belitung
Rumah Adat Rakit LimasRakit Limas adalah rumah adat dari Bangka Belitung. Rumah adat rakit limas banyak dikenal sebagai rumah adat dari Bangka Belitung. Namun secara garis besar, rumah ada di Bangka Belitung terdiri atas tiga jenis yaitu Rumah Rakit, Rumah Limas, dan Rumah Panggung. Rakit dan limas yang menjadi bagian dari jenis rumah adat inilah yang kemudian dikenal sebagai rumah adat dari daerah ini. Ketiga rumah adat ini memiliki arsitektur yang berlainan namun di antara ketiganya memiliki persamaan. Ketiganya banyak menggunakan arsitektur dan adat Melayu pada ketiga bangunannya.
Secara umum arsitektur di Kepulauan Bangka Belitung berciri Arsitektur Melayu seperti yang ditemukan di daerah-daerah sepanjang pesisir Sumatra dan Malaka. Di daerah ini dikenal ada tiga tipe yaitu Arsitektur Melayu Awal, Melayu Bubung Panjang dan Melayu Bubung Limas. Rumah Melayu Awal berupa rumah panggung kayu dengan material seperti kayu, bambu, rotan, akar pohon, daun-daun atau alang-alang yang tumbuh dan mudah diperoleh di sekitar pemukiman.
Bangunan Melayu Awal ini beratap tinggi di mana sebagian atapnya miring, memiliki beranda di muka, serta bukaan banyak yang berfungsi sebagai fentilasi. Rumah Melayu awal terdiri atas rumah ibu dan rumah dapur yang berdiri di atas tiang rumah yang ditanam dalam tanah.
Berkaitan dengan tiang, masyarakat Kepulauan Bangka Belitung mengenal falsafah 9 tiang. Bangunan didirikan di atas 9 buah tiang, dengan tiang utama berada di tengah dan didirikan pertama kali. Atap ditutup dengan daun rumbia. Dindingnya biasanya dibuat dari pelepah/kulit kayu atau buluh (bambu). Rumah Melayu Bubung Panjang biasanya karena ada penambahan bangunan di sisi bangunan yang ada sebelumnya, sedangkan Bubung Limas karena pengaruh dari Palembang. Sebagian dari atap sisi bangunan dengan arsitektur ini terpancung. Selain pengaruh arsitektur Melayu ditemukan pula pengaruh arsitektur non-Melayu seperti terlihat dari bentuk Rumah Panjang yang pada umumnya didiami oleh warga keturunan Tionghoa. Pengaruh non-Melayu lain datang dari arsitektur kolonial, terutama tampak pada tangga batu dengan bentuk lengkung.
9. Rumah Adat Provinsi Bengkulu
Rumah adat Bubungan LimaRumah Bubungan Lima adalah rumah adat dari provinsi Bengkulu. Rumah ini memiliki model seperti rumah panggung yang ditopang oleh beberapa tiang penopang. Rumah ini bukanlah rumah tinggal seperti pada umumnya. Rumah ini biasanya dipakai untuk acara adat masyarakat Bengkulu. Rumah ini terbagi atas tiga bagian yaitu rumah bagian atas, rumah bagian tengah, dan rumah bagian bawah. Rumah Bubungan Lima memiliki materi dasar yaitu kayu. Kayu yang dipilih pun bukan kayu sembarangan melainkan kayu yang kuat dan tahan lama. Kayu yang biasanya digunakan untuk membangun Rumah Bubungan Lima adalah Kayu Medang Kemuning. Rumah Bubungan Lima dibangun tinggi agar menghindari pemilik rumah beserta keluarga dari serangan binatang liar dan juga dari bencana alam seperti banjir. Karena tinggi Rumah Bubungan Lima ini, maka orang-orang yang hendak masuk ke dalam rumah pun harus menggunakan tangga. Tangga yang digunakan untuk masuk ke dalam rumah umumnya mempunyai jumlah anak tangga yang ganjil sesuai dengan kepercayaan masyarakat Bengkulu. Rumah Bubungan Lima ini merupakan salah satu Budaya Indonesia yang menjadi objek wisata.
Rumah adat Enggano
Rumah adat Enggano ditemukan di Pulau Enggano. Secara administrasi Pulau Enggano masuk dalam wilayah Propinsi Bengkulu, Kabupaten Bengkulu Utara, Indonesia. Rumah ini berupa rumah panggung dua lantai setinggi enam meter dengan bentuk bangunan bulat atau melingkar berukuran 8 x 8 meter.
Masyarakat adat Enggano merenovasi dan membangun enam rumah adat yang digunakan sebagai tempat bermusyawarah dan pertemuan adat, namun bisa disewakan untuk para wisatawan yang berwisata ke Pulau Enggano. Enam rumah adat tersebut antara lain:
- Rumah adat Suku Kaitora.
- Rumah adat suku Kauno.
- Rumah adat Suku Kaaruba.
- Rumah adat Suku Kaharubi.
- Rumah adat Suku Kaahua.
- Rumah adat suku Kamay.
10. Rumah Adat Provinsi Lampung
Rumah Nuwo SesatNuwo Sesat adalah rumah adat yang berasal dari provinsi Lampung. Dalam bahasa setempat, Nuwou berarti rumah atau tempat tinggal. Sedangkan Sesat berarti bangunan musyawarah. Jadi bisa dibilang Nuwou sesat adalah Bangunan atau rumah untuk bermusyarawah para tetua adat Lampung.
Sesuai dengan namanya, Nuwou Sesat digunakan sebagai balai pertemuan adat antar penyimbang (tetua masing-masing marga) pada saat mengadakan pepung adat atau musyawarah. Oleh karena itu, Nuwou Sesat juga disebut Sesat Balai Agung. Bagian-bagian yang terdapat pada bangunan ini adalah ijan geladak (tangga masuk yang dilengkapi dengan atap). Sedangkan Atap itu disebut Rurung Agung. Kemudian anjungan atau serambi, biasa digunakan untuk pertemuan kecil. Pusiban atau ruang tempat musyawarah resmi. Ruang tetabuhan tempat menyimpan alat musik tradisional, dan ruang gajah merem (tempat istirahat bagi para tetua). Pada sisi depan bangunan ini terdapat ukiran ornamen bermotif perahu. Hal lain yang khas di bangunan ini adalah hiasan payung-payung besar berwarna putih, kuning, dan merah pada bagian atapnya. Payung-payung tersebut merupakan lambang dari tingkat tetua adat bagi masyarakat tradisional Lampung. Secara fisik Nowou Sesat berbentuk rumah panggung bertiang. Sebagian besar materialnya terbuat dari papan kayu. Dahulu rumah sesat beratap anyaman ilalang, namun sekarang sudah menggunakan genting.
Kedatun Keagungan
Rumah adat Kedatun Keagungan terletak di jalan Sultan Haji Nomor 45, Sepang Jaya, Kedaton, Bandar Lampung, dahulu berfungsi sebagai rumah pribadi seorang raja. Ketika memasuki areal rumah adat, pengunjung akan disambut dengan gerbang besar yang terbuat dari besi. Bahkan untuk membukanya dibutuhkan dorongan dari kedua tangan. Di dalamnya berjejer singgasana sang tokoh adat, ukiran-ukiran kayu, sepaket kolintang atau alat musik khas Lampung, pakaian-pakaian adat, meriam serta ribuan benda antik lainnya.
Kedatun Keagungan merupakan rumah adat atau istana adat yang diwariskan secara turun-temurun oleh keturunan Lampung pepadun. Rumah panggung yang terbuat dari kayu tersebut menjadi syarat menjadi seorang Suttan atau raja secara adat. Namun, rumah adat berusia ratusan tahun tersebut kini dialihfungsikan sebagai laboratorium pendidikan budaya Lampung.
Rumah Adat Lamban Pesagi
Lamban Pesagi merupakan salah satu rumah adat lampung berusia ratusan tahun. Namun masih berdiri kokoh hingga saat ini. Tahun 2014, rumah ini resmi ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda kategori Arsitektur Tradisional oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).
Rumah adat Lampung ini memiliki arti kata, yaitu lamban adalah rumah dan pesagi adalah persegi, karena denahnya berbentuk segi empat. Rumah ini berasal dari Desa Kenali, Kecamatan Belalau, daerah Gunung Pesagi di Lampung Barat yang bersuhu dingin. Lokasi tersebut mempengaruhi gaya arsitektur Lamban Pesagi yang tertutup atau tidak ditemui serambi terbuka di bagian depan.
Bangunan ini terdiri dari beberapa ruangan, yaitu Lawang Kuri (gapura), Pusiban (tempat tamu melapor) dan Ijan Geladak (tangga naik ke rumah), Anjung-anjung (serambi depan tempat menerima tamu), Serambi Tengah (tempat duduk anggota kerabat pria), Lapang Agung (tempat kerabat wanita berkumpul), Kebik Temen atau kebik kerumpu (kamar tidur bagi anak penyimbang bumi atau anak tertua), kebik rangek (kamar tidur bagi anak penyimbang ratu atau anak kedua), kebik tengah (yaitu kamar tidur untuk anak penyimbang batin atau anak ketiga).
Rumah Adat Lamban Dalom Marga Balak
Rumah Adat Lamban Dalom Marga Balak terletak di Jalan Dr Setia Budi, Kelurahan Negeri Olok Gading, Kecamatan Teluk Betung Barat, Bandar Lampung. Bangunan ini tidak jauh berbeda dengan rumah adat daerah Sumatera. Ciri khas tersebut yaitu struktur bangunan berbentuk rumah panggung dengan material kayu sebagai material konstruksinya. Terdiri dari dua bagian bangunan. Bagian bawah rumah yang didominasi pasak kayu berukuran besar disulap menjadi ruangan pertemuan.
Rumah panggung ini konon dibangun sebagai solusi atas kondisi alam Sumatera. Rumah panggung membuat warga aman dari ancaman banjir bahkan hewam buas yang sewaktu waktu menyerang.
11. Rumah Adat Provinsi Banten
Rumah adat Sulah NyandaSulah nyanda adalah rumah adat suku baduy yang berada di Provinsi Banten. Atapnya terbuat dari daun nipah yang disebut sulah nyanda. Nyanda berarti sikap bersandar, sandarannya tidak lurus melainkan agak merebah ke belakang. Salah satu sulah nyanda ini dibuat lebih panjang dan memiliki kemiringan yang lebih rendah pada bagian bawah rangka atap. Rumah tradisional Baduy ini disebut juga Imah dan harus menghadap ke selatan. Bentuknya empat persegi panjang dengan atap kampung dan sosoran dipasang di salah satu sisinya. Selain itu, rumah adat ini memiliki hiasan di atas atap rumah yang menyerupai bentuk tanduk. Hiasan ini terbuat dari ijuk (sabut aren) yang dibulatkan dan diikat. Pembangunan rumah adat sulah nyanda mengikuti kontur tanah sehingga tiang-tiang rumah adat Suku Baduy tidak memiliki ketinggian yang sama.
Bangunan Suku Baduy dirancang berdasarkan konsep ekologis, yaitu memadu dengan alamiah lingkungannya. Untuk membangun rumah digunakan bahan dan konstruksi alami berasal dari wilayah terdekat. Sama sekali tidak menggunakan bahan dengan campuran bahan kimia yang lebih modern. Dalam membuat rumah masyarakat baduy menggunakan patokan arah Barat-Selatan sejalan dengan arah cahaya matahari yang menyinari bangunan, sehingga cahaya matahari dan angin akan masuk ke dalam rumah sebagai penambah kesehatan dan kesegaran melalui celah dinding.
Ukuran luas rumah setiap warga tidak sama satu dengan lainnya. Hal ini disengaja karena lahan semakin terbatas dan memakan biaya yang tidak sedikit. Untuk mendirikan sebuah rumah, setiap warga tidak sembarang membangun pada lahan yang kosong. Melainkan harus ada surat ijin khusus dari perangkat adat, termasuk untuk penentuan posisi rumahnya. Adapun ukuran luas rumah pada umumnya berkisar 7m x 7m, 9m x 10m, bahkan ada yang mencapai 12m x 10m.
Masyarakat Etnik Baduy memiliki pola pemukiman klaster. Artinya rumah-rumah berhimpun terpusat berada dalam wilayah yang dibatasi dengan pagar alam. Pagar alam ini diletakkan mengelilingi kampung sekaligus sebagai batas antara wilayah pemukiman dan hutan. Orientasi rumahnya berpaku pada letak rumah dinas Puun yang berada di arah Selatan, sehingga rumah pejabat adat dan rumah warga tidak berada di belakang atau di samping rumah Puun. Rumah pejabat adat dan rumah warga berada di depan rumah Puun. Adapun tata letaknya bahwa rumah Dinas Girang Serat (staf ahli Puun) berada di depan sebelah kanan rumah Dinas Puun. Demikian pula dengan letak Rumah Dinas Jaro. Rumah para mantan pejabat adat berada di depan kanan dan kiri rumah Dinas Puun. Perlu diketahui bahwa para pejabat adat seperti Puun, Girang Serat, dan Jaro selama menjabat dapat dipastikan wajib menempati rumah dinasnya. Para pejabat ini akan tidak menempati rumah dinas bila sudah tidak menjabat. Adapun waktu menjabatnya disesuaikan dengan kemampuan fisik dan non fisiknya, bila merasa sudah tidak mampu lagi maka berhak mengajukan ke kokolot adat untuk undur diri. Rumah Puun berhadapan langsung dengan Balai adat. Balai Adat ini berfungsi untuk melaksanakan berbagai keperluan adat, seperti rapat adat, prosesi sunatan, prosesi lamaran. Saung lisung (balai untuk menumbuk padi) berada di belakang sebelah kanan Balai adat. Rumah warga berbentuk panggung dengan menggunakan bahan-bahan alami, seperti kayu digunakan sebagai tiang dan kerangka rumah. Bambu digunakan sebagai sebagian kerangka, dinding dan tali-temali. Daun nipah digunakan untuk atap. Rumah adat sulah nyanda tidak memiliki jendela, namun memiliki lubang berbentuk kubus atau persegi dengan ukuran yang beragam tiap rumah tidak sama. Perkiraan ukurannya lebih kurang 10cm x 10cm, atau 10cm x 15cm. Lubang tersebut dipergunakan untuk memantau keamanan lingkungan rumahnya. Rumah ini hanya memiliki satu pintu ke luar masuk, pintu itu disebut dengan Panto. Pintu ini tidak terletak di depan persis tetapi di kiri dan di depan pintu terdapat terasan yang disebut papange. Di depan papangge terdapat tangga untuk naik turun yang disebut taraje.
Kasepuhan Banten Kidul
Masyarakat Kasepuhan Banten Kidul melingkup beberapa desa tradisional dan setengah tradisional, yang masih mengakui kepemimpinan adat setempat. Terdapat beberapa Kasepuhan di antaranya adalah Kasepuhan Ciptagelar, Kasepuhan Cisungsang, Kasepuhan Cisitu, Kasepuhan Cicarucub, Kasepuhan Citorek, serta Kasepuhan Cibedug. Kasepuhan Ciptagelar sendiri melingkup dua Kasepuhan yang lain, yakni Kasepuhan Ciptamulya dan Kasepuhan Sirnaresmi. Kawasan tersebut meliputi dua provinsi, yakni Jawa Barat dan Banten.
Rompok adat adalah rumah tradisional di Kasepuhan yang tetap dipertahankan secara turun temurun dalam keadaan seasli mungkin. Kondisi rompok adat tampak tua karena sudah berumur, namun tetap berdiri kokoh. Konstruksi bangunannya berupa rumah panggung yang dibuat dari bahan baku kayu dan bambu, serta beratap sebagian sirap dan sebagian lagi ijuk. Jendela rumah tidak dilapisi kaca, tetapi hanya berjeruji kayu dan berdaun jendela kayu.
12. Rumah Adat Provinsi DKI Jakarta
Rumah KebayaRumah kebaya adalah sebuah nama rumah adat suku Betawi. Disebut dengan rumah kebaya dikarenakan bentuk atapnya yang menyerupai pelana yang dilipat dan apabila dilihat dari samping maka lipatan-lipatan tersebut terlihat seperti lipatan kebaya.
Ciri khas dari rumah ini adalah rumah ini memiliki teras yang luas yang berguna untuk menjamu tamu dan menjadi tempat bersantai keluarga. Pada zaman dahulu, masyarakat betawi membuat sumur di depan rumahnya dan pemakaman yang berada disamping rumah. Dan, dinding rumahnya terbuat dari panel-panel yang dapat dibuka dan digeser-geser ke tepinya. Hal ini dimaksudkan agar rumah terasa lebih luas.
Rumah ini dapat dibedakan menjadi 2 bagian dari segi sifatnya, yakni bagian depan bersifat semi publik, sehingga setiap orang dapat melihat betapa asri dan sejuknya rumah tersebut. Dan yang kedua adalah bagian belakang yang bersifat pribadi. Bagian ini hanya boleh dilihat oleh orang-orang dekat dari pihak pemilik rumah.
Rumah Darat
Rumah darat juga disebut Rumah Depok adalah rumah tradisional Betawi dengan lantai yang dibangun di atas permukaan tanah. Rumah ini berbeda dengan rumah panggung Betawi yang tidak menempel ke darat.
Rumah darat yang dikenal masyarakat umum adalah rumah-rumah yang ditemui dalam komunitas masyarakat Betawi Tengah. Hal ini karena rumah daratlah yang sering diangkat dalam forum-forum kebudayaan yang digelar Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Rumah darat bisa dilihat replikanya di Kampung Budaya Betawi Setu Babakan, dan di Anjungan DKI Jakarta, Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta Timur. Rumah darat juga diangkat dalam beberapa acara televisi bertemakan Betawi, sebut saja Sinetron Si Doel Anak Sekolahan.
Rumah panggung Betawi
Rumah panggung adalah salah satu jenis rumah tradisional suku Betawi yang lantainya ditinggikan dari tanah dengan menggunakan tiang-tiang kayu. Rumah ini berbeda dengan rumah darat yang menempel ke tanah. Rumah panggung Betawi dibangun di kawasan pesisir dengan tujuan untuk menanggulangi banjir atau air pasang. Sementara itu, rumah panggung yang terletak di tepi sungai seperti di Bekasi tidak hanya dibangun untuk menghindari banjir, tetapi juga untuk keamanan dari binatang-binatang buas.
Rumah Betawi pada umumnya tidak memiliki bentuk bangunan yang khas. Selain itu, rumah Betawi juga tidak memiliki peraturan baku dalam menentukan arah. Walaupun begitu, rumah panggung Betawi masih memiliki ciri khas dalam hal detail dan peristilahan. Salah satunya adalah tangga di depan rumah panggung Betawi disebut balaksuji. Balaksuji diyakini dapat menolak bala; sebelum memasuki rumah melalui balaksuji, seseorang harus membasuh kakinya terlebih dahulu sebagai lambang penyucian diri.
Bahan untuk membangun rumah panggung Betawi diambil dari daerah sekitar, seperti kayu sawo, kayu nangka, bambu, kayu kecapi, kayu cempaka, juk, dan rumbia. Kayu-kayu lain juga dapat digunakan, seperti kayu jati untuk membuat tiang. Dalam membangun rumah, orang Betawi percaya bahwa terdapat berbagai pantangan dan aturan yang perlu diikuti untuk menghindari musibah. Sebagai contoh, rumah yang dibangun sepatutnya berada di sebelah kiri rumah orang tua atau mertua. Ada pula larangan membuat atap rumah dari bahan yang mengandung unsur tanah. Rumah panggung Betawi sendiri telah dipengaruhi oleh berbagai macam budaya, dari Jawa, Sunda, Melayu, hingga Tiongkok dan Arab, dan Belanda.
Rumah Koko Rumah Koko adalah bentuk rumah tradisional di Kemayoran. Bahan-bahan yang diperlukan antara lain kayu, genteng, pager, dan bambu. Tiang kayu dibuat dari potongan kayu dan diberi lubang dengan jarak 3 meter sehingga nantinya rumah akan berukuran sekitar 7x9².
Tanah tempat rumah didirikan kemudian diukur dan diurug setinggi 15cm. Pada setiap jarak 3m diberi umpak berbentuk batu persegi empat dan umumnya lebih besar daripada tiangnya. Untuk umpak yang besarnya sama dengan tiang, dipendam dalam tanah kira-kira 10cm. Setelah umpak dipasang, baru tiang rumah satu per satu didirikan. Kemudian dipasang bubungan, kaso-keso dari kayu, reng dari bambu, genteng, jendela depan yang disebut jendela bujang, pintu depan dan belakang (biasanya pintu dibuat dari pintu nangka), dan pagar dari anyaman kayu.
Pagar rumah dikapur sedang pintu dan jendela diprenis dengan malam. Untuk lantai hanya disiram air dan disebari dengan serbuk dari gergajian lalu disapu sampai bersih. Bagian depan pintu dipasang langkan dari kayu berbentuk balang-balang di sebelah kiri. Sedang bagian kanan dan tengah dibiarkan kosong.
13. Rumah Adat Provinsi Jawa Barat
Keraton Kasepuhan CirebonKeraton Kasepuhan adalah keraton yang terletak di kelurahan Kesepuhan, Lemahwungkuk, Cirebon. Makna di setiap sudut arsitektur keraton ini pun terkenal paling bersejarah. Halaman depan keraton ini dikelilingi tembok bata merah dan terdapat pendopo di dalamnya. Keraton Kasepuhan adalah kerajaan islam tempat para pendiri cirebon bertahta, disinilah pusat pemerintahan Kasultanan Cirebon berdiri.
Keraton Kasepuhan berisi dua kompleks bangunan bersejarah yaitu Dalem Agung Pakungwati yang didirikan pada tahun 1430 oleh Pangeran Cakrabuana dan kompleks keraton Pakungwati (sekarang disebut keraton Kasepuhan) yang didirikan oleh Pangeran Mas Zainul Arifin pada tahun 1529 M. Pangeran Cakrabuana bersemayam di Dalem Agung Pakungwati, Cirebon. Keraton Kasepuhan dulunya bernama 'Keraton Pakungwati. Sebutan Pakungwati berasal dari nama Ratu Dewi Pakungwati binti Pangeran Cakrabuana yang menikah dengan Sunan Gunung Jati. Ia wafat pada tahun 1549 dalam Mesjid Agung Sang Cipta Rasa dalam usia yang sangat tua. Nama dia diabadikan dan dimuliakan oleh nasab Sunan Gunung Jati sebagai nama Keraton yaitu Keraton Pakungwati yang sekarang bernama Keraton Kasepuhan.
Rumah Julang Ngapak
Julang Ngapak adalah salah satu jenis rumah adat masyarakat Jawa Barat atau suku Sunda, yang dalam bahasa Indonesia Julang Ngapak memiliki arti burung yang sedang mengepakkan sayap. Arti tersebut berasal dari kata Julang yang berarti burung dan Ngapak berarti mengepakkan. Rumah adat satu ini dinamakan Julang Ngapak karena desain atap rumahnya yang persis seperti seekor burung yang sedang mengepakkan sayapnya. Bentuk atapnya melebar pada setiap sisi, dan pada bagian atasnya berbentuk huruf "V" sehingga secara keseluruhannya rumah adat ini menyerupai burung yang sedang mengepakkan sayap. Ciri khas lain dari rumah adat Julang Ngapak ini adalah pada bagian bubungannya yang terdapat pelengkap atap berbentuk cagak gunting atau capit hurang. Fungsi dari capit gunting atau capit hurang ini adalah sebagai antisipasi atau pencegahan air hujan yang merembes, utamanya pada bagian pertemuan antara atap. Rumah-rumah yang berbentuk Julang Ngapak di antaranya akan ditemui di daerah Tasikmalaya. Kampung-kampung adat seperti kampung Dukuh, kampung Naga, Kuningan, dan tempat-tempat lainnya di Jawa Barat. Selain itu rumah adat Sunda Julang Ngapak juga digunakan pada beberapa bangunan kampus ternama di Indonesia. Adapun kampus tersebut di antaranya adalah kampus ITB (Institut Teknologi Bandung). Rumah Julang Ngapak, sama seperti rumah-rumah adat Sunda atau rumah adat Indonesia lainnya lainnya yaitu berbentuk rumah panggung dan memiliki kolong yang berfungsi sebagai penanggulangan apabila terjadi banjir atau gempa bumi, atau dimanfaatkan juga untuk tempat binatang peliharaan seperti kambing, sapi, ayam atau bisa juga untuk penyimpanan alat-alat kebutuhan sehari-hari seperti alat pertanian, dan sebagainya. Untuk masuk ke dalam rumah adat Julang Ngapak disediakan tangga yang biasa disebut golodog, biasanya terbuat dari kayu atau bambu dan biasanya hanya memiliki tiga anak tangga saja, golodog juga berfungsi sebagai tempat membersihkan kaki sebelum naik ke dalam rumah.
Capit Gunting
Capit Gunting merupakan nama bangunan rumah atau lebih tepatnya bentuk atap rumah yang ada di wilayah Jawa Barat. Bentuk bangunan ini sering digunakan pada zaman dahulu. Terkadang sampai saat ini pun sering digunakan.
Dalam kebudayaan Sunda, nama bentuk atap rumah disebut sebagai susuhunan. Dalam kebudayaan Sunda lama, Capit Gunting merupakan salah satu nama susuhunan atau bentuk atap di masyarakat Sunda pada zaman dahulu. Atau dalam bahasa lainnya, istilah untuk nama susuhunan ini disebut Undagi. Undagi itu sendiri adalah tata arsitektur.
Capit Gunting tersusun dari dua kata, yaitu Capit dan Gunting. Dalam konteks dan arti dalam bahasa Sunda, Capit berarti asal mengambil dengan ujung barang yang sama-sama dijepitkan. Sedangkan gunting sendiri dalam basa Sunda juga berarti peralatan semacam pisau untuk memotong kain atau bisa dispesifikasikan sebagai pisau yang menyilang. Di kenyataannya, bentuk Capit Gunting adalah ujung atapnya memakai kayu atau bamboo yang dibuat bercagak atau bercabang seperti gunting yang hendak menjepit. Seperti makna dari nama Capit Gunting itu pula, maka bentuknya adalah seperti gunting yang sedang terbuka.
Rumah tradisional Sunda
Rumah tradisional Sunda (bahasa Sunda: imah adat Sunda) mengacu kepada rumah adat tradisional suku Sunda yang terutama mendiami bagian barat Pulau Jawa (Provinsi Jawa Barat dan Banten), Indonesia. Arsitektur rumah suku Sunda ditandai oleh fungsionalitas, kesederhanaan, kepolosan, keseragaman dengan sedikit detail, penggunaan bahan atap dedaunan alamiah, dan ikatan yang cukup teguh pada keselarasan dengan alam dan lingkungan.
Rumah-rumah tradisional Sunda sebagian besar mengambil bentuk dasar struktur atap pelana, umumnya disebut atap gaya kampung, terbuat dari bahan-bahan dedaunan (ijuk; serat aren hitam, hateup dedaunan atau dedaunan palem) menutupi kerangka kayu dan balok, dinding anyaman bambu, dan strukturnya dibangun di atas panggung pendek. Variasi atapnya bisa berupa atap melandai dan pelana (kombinasi atap pelana dan melandai).
Atap pelana menjorok yang lebih rumit disebut julang ngapak, yang berarti "burung menggepakkan sayapnya". Bentuk-bentuk rumah tradisional Sunda tersebut meliputi:
- Buka Pongpok
- Capit Gunting
- Jubleg Nangkub
- Badak Heuay
- Tagog Anjing
- dan Perahu Kemureb
Saung Rangon
Saung Ranggon adalah salah satu rumah adat Jawa Barat yang paling tua. Berlokasi di Kampung Cikedokan, Desa Cikedokan, Kecamatan Cikarang Barat, Kabupaten Bekasi. Saung Ranggon diyakini merupakan peninggalan para wali pada abad ke-16 oleh Pangerang Rangga, putra dari Pangeran Jayakarta.
Nama Cikedokan juga berkaitan dengan rumah adat Saung Rangon yang dulu menjadi tempat persinggahan Kerajaan Jayakarta. Nama Cikedokan berasal dari kata kedok yang berarti topeng. Jadi, Cikedokan memiliki arti penyamaran. Nama ini juga tidak sembarangan diberikan karena ada asal muasalnya.
Dahulu karuhun-karuhun yang datang ke Cikedokan adalah mereka-mereka yang sedang menyamar karena dikejar-kejar oleh tentara Belanda. Saung ini kemudian dikenal dengan nama Saung Ranggon karena dibangun oleh Pangeran Rangga. Dalam bahasa Sunda saung memiliki arti rumah yang berada di tengah ladang atau huma. Fungsi dari saung biasanya untuk petani menunggu tanaman padi atau palawija mereka yang akan dipanen.
Bangunan saung biasanya dibuat dengan ketinggian 3 sampai 4 meter di atas permukaan tanah. Hal ini ditujukan untuk menjaga keselamatan penghuninya dari gangguan hewan buas, seperti babi hutan dan harimau.
Rumah Adat Citalang
Rumah Adat Citalang adalah salah satu rumah adat yang terletak di Gang Patinggi 3, Dusun Karangsari, Desa Citalang, Kecamatan Purwakarta, Provinsi Jawa Barat. Tepatnya pada koordinat 06° 32' 371" lintang selatan dan 107° 27' 822" bujur timur. Rumah Adat Citalang ini merupakan peninggalan dari Raden Mas Sumadireja yang dibangun kurang lebih tahun 1905, dirancang oleh Muhammad Nata Wireja (Amil di Desa Citalang) dan Muhammad Ruki (Sesepuh Dusun Palumbungan) dengan peralatan sederhana. Rumah ini dibangun untuk tempat tinggal Raden Mas Sumadireja. Pada saat dibangun Raden Mas Sumadireja adalah Kepala Desa Citalang III atau terkenal dengan sebutan Patinggi III. Raden Mas Sumadireja sendiri merupakan putra Bupati Brebes, Jawa Tengah yang diberi tugas berjuang mengusir para penjajah ke Batavia (Jakarta) bersama tiga orang saudaranya dan prajuritnya. Akibat dari pertempuran tidak seimbang dengan pasukan penjajah Belanda, maka beliau terdesak dan memutuskan untuk mundur. Beberapi kali beliau sempat berpindah-pindah daerah untuk menghindari desakan pasukan Belanda. Daerah yang disinggahi antara lain Karawang, Purwakarta, Citalang Plered hingga pada akhirnya tinggal di Desa Citalang. Beliau menetap di Desa Citalang hingga akhir hayatnya pada tahun 1921. Raden Mas Sumadireja dimakamkan di Pemakaman Pasir Kerabau Citalang.
Rumah Adat Panjalin
Rumah Adat Panjalin berada di Kabupaten Majalengka, provinsi Jawa Barat, tepatnya di Desa Panjalin Kidul, Kecamatan Sumberjaya. Pada tahun 1982, Desa Panjalin telah dimekarkan menjadi Desa Panjalin Kidul dan Desa Panjalin Lor. Desa Panjalin Kidul yang merupakan lokasi dari rumah adat ini terletak di sebelah utara Kecamatan Sumberjaya dan berbatasan dengan Kabupaten Cirebon.
Rumah berbentuk panggung dan hampir semuanya terbuat dari kayu ini telah dibangun sekitar 300 tahun yang lalu oleh Raden Sanata. Rumah tersebut dibangun untuk berdakwah dan menyebarkan agama Islam. Sejak tahun 2012, rumah adat Panjalin telah tercatat sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia dengan nomor registrasi 2012002337.
Rumah Adat Penjalin hampir menyerupai rumah kayu Minahasa, Sulawesi Utara dari segi bentuk bangunan dan bangunan. Secara fisik, rumah ini termasuk dalam kategori rumah panggung yang disangga oleh 16 tiang penyangga dari kayu yang berukuran 9 x 9 m, dan menempati areal seluas 172 meter persegi. Material pembangun dalam pembuatan rumah ini hanya berupa kayu-kayu berukuran besar dan bambu. Sepintas, bangunan peninggalan sejarah ini hampir mirip dengan gudang padi orang tua pada zaman dahulu.
Tujuan rumah adat ini dibangun oleh keturunan dari Kerajaan Talaga adalah untuk berdakwah dan menyebarkan agama Islam. Namun saat sekarang ini, keberadaan Rumah Adat Panjalin menjadi daya tarik tersendiri bagi beberapa kalangan. Dengan segala keunikan dan sejarahnya, bangunan ini menjadi objek penelitan bahkan tugas akhir bagi para akademisi berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Bukan hanya dari kalangan akademisi, rumah adat Panjalin juga ramai dikunjungi oleh berbagai elemen masyarakat yang hanya sekadar ingin tahu.
Rumah Adat Cikondang
Rumah Adat Cikondang disebut juga bumi adat merupakan bangunan tradisional masyarakat Bandung, Jawa Barat. Rumah tradisonal sunda ini terletak di kampung Cikondang kabupaten Bandung Selatan. Bangunan ini umumnya terbuat dari bambu, dan berbentuk panggung.
Rumah adat cikondang menurut sejarahnya telah berusia 200 tahun. Desa cikondang pernah mengalami kebakaran pada tahun 1942, sehingga bangunan yang tersisa hanya rumah adat ini. Rumah ini mengalami perbaikan oleh pemerintah daerah pada tahun 2010 tanpa mengubah bentuk aslinya. Sekarang rumah tradisional ini menjadi rumah adat tempat masyarakat melakukan kegiatan adat dan tradisi budaya masyakat cikondang.
14. Rumah Adat Provinsi Jawa Tengah
Rumah JogloRumah Joglo adalah merupakan rumah adat masyarakat berasal dari Jawa (suku jawa) atau daerah lain di Indonesia yang terdiri atas 4 tiang utama. Penyebaran di Pulau Jawa, karena kedekatan budayanya bangunan ini juga banyak ditemukan di Pulau Madura dan Pulau Bali.
Bentuk lokasi tinggal joglo pada zaman dahulu merupakan berbentuk bujur sangkar dan ditopang oleh empat buah tiang di dalamnya. Tiang-tiang ini mempunyai istilah yakni "saka guru". Nah, penopang tiang itu ialah sebuah blandar bersusun yang biasa dikenal dengan 'tumpangsari'.
Mengikuti pertumbuhan zaman, lokasi tinggal ini memiliki sekian banyak macam modifikasi sendiri-sendiri, cocok dengan orang yang menempatinya. Akan tetapi format yang sangat sering dijumpai ialah bentuk persegi. Dalam urusan bahan, lokasi tinggal ini selalu memakai bahan kayu. Kayu yang dipakai seperti kayu jati, sengon serta bahan pohon kelapa. Dikarenakan dalam pemakaiaan kayu dinilai lebih awet, tahan lama, dan mempunyai kekuatan tinggi.
Rumah pada arsitektur tradisional Jawa yang berkembang sejak abad ke-13 terdiri atas 5 tipe dasar (pokok) yaitu:
- Rumah Limasan (atap limas)
- Rumah Kampung (atap pelana)
- Rumah Panggang Pe
- Rumah Mesjidan/Tajugan
- Rumah Joglo
- Joglo ceblokan
- Joglo kepuhan limolasan
- Joglo lambangsari
- Joglo kepuhan lawakan
- Joglo kepuhan awitan
- Joglo wantah apitan
- Joglo Limasan Lawakan (atau "Joglo Lawakan").
- Joglo Sinom ( Sinom Apitan)
- Joglo Jompongan (Jompongan Pokok)
- Joglo Pangrawit
- Joglo Mangkurat
- Joglo Hageng
- Joglo Semar Tinandhu
- Joglo Jepara
- Joglo Kudus
- Joglo Pati
- Joglo Rembang
Rumah Joglo Jepara
Rumah adat Jepara atau disebut juga Joglo Jepara atau Joglo Gebyok adalah Rumah tradisional asal Jepara salah satu rumah tradisional yang mencerminkan perpaduan akulturasi kebudayaan masyarakat Jepara.
Rumah Adat Jepara memiliki atap genteng yang disebut "Atap Wuwungan", dengan bangunan yang didominasi seni ukir empat dimensi (4D) khas kabupaten Jepara yang merupakan perpaduan gaya dari budaya Hindu-Jawa, Islam-Arab, Tionghoa-Cina dan Eropa-Portugis. Rumah ini diperkirakan mulai dibangun sekitar tahun 600-an Masehi (era Kerajaan Kalingga) dengan 95% kayu Jati asli.
Rumah Joglo Kudus
Rumah adat Kudus atau joglo pencu disebut juga joglo Kudus adalah rumah tradisional asal Kudus yang mencerminkan perpaduan akulturasi kebudayaan masyarakat Kudus.
Rumah adat Kudus memiliki atap genteng yang disebut atap pencu dengan bangunan yang didominasi seni ukir yang sederhana khas Kabupaten Kudus yang merupakan perpaduan gaya dari budaya Jawa (Hindu), Persia (Islam), Cina (Tionghoa) dan Eropa (Belanda). Rumah ini diperkirakan mulai dibangun sekitar tahun 1500-an M dengan 95% kayu jati asli. Joglo Kudus mirip dengan Joglo Jepara tetapi perbedaan yang paling kelihatan adalah bagian pintunya. Joglo Kudus hanya memiliki 1 pintu sedangkan Joglo Jepara memiliki 3 pintu.
Joglo Pati
Rumah Adat Pati Joglo Pati memiliki atap genteng yang bentuknya khas, yang merupakan perpaduan gaya dari budaya Jawa dan Tiongkok. Rumah ini diperkirakan mulai dibangun sekitar tahun 1700-an Masehi dengan 90% kayu Jati asli. Joglo Pati mirip dengan Joglo Kudus tetapi perbedaan yang paling tampak adalah bentuk bagian pintunya dan atap gentengnya.
Dalam arsitektur Joglo pati terdapat Pintu Gerbang Majapahit yaitu peninggalan sejarah berupa Pintu Gerbang terbuat dari kayu jati. Pintu gerbang ini merupakan peninggalan Kerajaan Majapahit yang diangkat oleh Kebo Nyabrang sebagai persyaratan untuk diakui sebagai Putra Sunan Muria. Namun setelah tiba di Desa Rondole, Kebo Nyabrang tidak mampu lagi mengangkat dan tidak mampu melanjutkan perjalanan kemudian menunggui pintu gerbang tersebut sampai meninggal dunia.
Joglo Rembang
Rumah adat Rembang atau Joglo Bocokan disebut juga Joglo Rembang adalah Rumah tradisional asal Rembang salah satu rumah tradisional yang mencerminkan perpaduan akulturasi kebudayaan masyarakat Kabupaten Rembang, jawa tengah.
Joglo Rembang dahulunya rumah jenis ini dindingnya terbuat dari gedeg dalam bahasa Jawa artinya anyaman bambu bagi golongan orang kelas bawah, sedangkan bagi golongan kelas menengah keatas dindingnya Rumah Joglo Bocokan terbuat dari papan kayu jati. Keunikan dan keistimewaan Rumah Adat Rembang (Joglo Bocokan) tidak hanya terletak pada keindahan arsitekturnya, tetapi juga pada kelengkapan komponen-komponen pembentuknya yang memiliki makna filosofis berbeda-beda.
15. Rumah Adat Yogyakarta
Rumah Bangsal KenconoRumah Adat Bangsal Kencono adalah rumah tradisional berbentuk Joglo dan merupakan rumah adat khas Kerajaan Mataram atau Keraton Yogyakarta. Bangsal Kencono merupakan bangunan pendopo yang merupakan rumah adat yang dibangun di kawasan Keraton Yogyakarta. Sementara rumah adat joglo sendiri merupakan rumah adat Jawa yang eksis sejak zaman kerajaan. Rumah adat Bangsal Kencono sendiri merupakan rumah adat berbentuk joglo yang memiliki fungsi khusus di Keraton. Di mana rumah adat ini memiliki halaman yang sangat luas, ditumbuhi oleh tanaman, dan beberapa sangkar burung. Di depan Bangsal Kencono akan terdapat dua patung batu Gupolo, dua raksasa yang memegang gada—sejenis alat pemukul.
Rumah adat Bangsal kencono Kraton Yogyakarta berfungsi sebagai rumah tempat tinggal para raja Keraton Yogyakarta. Selain dikenal difungsikan sebagai tempat tinggal raja, rumah adat Bangsal Kencono juga memiliki fungsi sebagai ruang pertemuan penting. Dilihat dari desainnya bentuk Rumah Adat Bangsal Kencono memiliki sedikit pengaruh dari seni arsitektur khas Belanda, Portugis dan Cina. Di dalam desain Rumah Adat Bangsal Kencono tampak ada unsur-unsur desain tersebut meski didominasi oleh adat Jawa dari segi ukiran, atap, bentuk tiang dan dinding bangunannya. Atap Rumah Bangsal Kencono bentuknya mirip dengan rumah adat Jawa, Joglo, secara umumnya. Rumah ini memiliki bagian atap yang bubungan tingginya ditopang oleh empat tiang di tengah. Tiang itu disebut Soko Guru. Material pembuatan atap terdiri atas genteng yang terbuat dari tanah atau sirap. Sementara bagian dinding dan tiang dibuat dari bahan kayu, umumnya jika bukan kayu Jati akan dipilih kayu nangka yang memiliki kualitas tinggi karena tahan lama, tidak mudah rapuh oleh cuaca. Khusus Rumah Adat Bangsal Kencono memiliki warna hijau tua atau hitam pada tiang penopang. Tiang ini juga ditopang oleh umpak batu berwarna hitam keemasan. Sementara untuk lantainya, Rumah Adat Bangsal Kencono di Keraton sudah memiliki lantai yang dibuat dari marmer atau batu granit. Permukaan bagian dalam Rumah Adat Bangsal Keraton posisinya lebih tinggi daripada bagian halamannya, sehingga ada anak tangga di area pintu masuk Rumah Adat Bangsal Kencono.
Ciri khas rumah Adat Bangsal Kencono dapat dilihat dari berbagai segi. Pertama, dari segi Ukuran luas dari rumah Adat Bangsal Kencono biasanya disesuaikan dengan kebutuhannya. Khusus untuk Bangsal Kencono milik keraton Yogyakarta, ukurannya sangat luas dan besar guna menampung tamu istana yang jumlahnya bisa ratusan sampai ribuan. kedua, dari segi desain dan motif ukiran Bangsal Kencono akan didesain berdasarkan filosofi selaras dengan alam. Desain interior dan eksterior akan disesuaikan satu sama lain. bila desain interior dihias dengan ukiran-ukiran yang bernuansa alam, maka desain interiornya dihias dengan beragam pot bunga dan terdapat pula sangkar burung untuk menyempurnakan pemandangan. Arti dari keberadaan sangat burung yang dilengkapi dengan seekor burung di Bangsal Kencono sendiri cukup unik. Filosofi dari sangkar dan burung di sini sebagai klangenan, sebuah wahana di mana raja atau penghuni istana dapat bermain dan berkomunikasi dengan burung untuk melepas penatnya. Di samping itu juga menjadi simbol betapa hewan merupakan bagian penting dari istana Kerajaan Ngayogyakarta. Dalam budaya Jawa, ocehan burung menjadi pertanda sesuatu yang berhubungan dengan alam. Karena Raja Keraton Yogyakarta dipercaya memiliki hubungan khusus dengan alam, maka burung dalam nuansa kejawen ini menjadi sebuah pemandu untuk memahami keadaan alam setiap harinya. Ketiga, dari segi Fungsi Bangsal Kencono di kompleks keraton sangat kompleks. Selain sebagai ruang pertemuan antara Raja dengan para tamu, Bangsal Kencono juga menjadi ruang untuk melakukan upacara adat maupun ritual keagamaan bagi masyarakat. Raja akan menjadi pemimpin upacara dan para abdi dalem serta staf keluarga keraton berada di lingkungan Bangsal Kencono untuk mengikuti jalannya upacara. Keempat, dari segi Susunan bangunan Bangsal Kencono di Keraton Yogyakarta cukup kompleks. Bangsal Kencono di Keraton Yogyakarta juga menjadi bagian dari ruang publik. Susunannya terbagi atas tiga bagian ruang yang disesuaikan pula dengan fungsi-fungsinya.
16. Rumah Adat Provinsi Jawa Timur
Rumah Adat Joglo SitubondoJoglo Situbondo adalah rumah adat provinsi Jawa Timur. Meskipun memiliki nama Joglo, namun rumah adat ini berbeda dengan rumah tradisional Joglo di Jawa Tengah. Tak dipungkiri juga keduanya memiliki beberapa kemiripan. Kegunaan rumah ini adalah sebagai rumah tempat tinggal, namun ada juga yang memanfaatkannya sebagai peninggalan bersejarah. Hal ini dikarenakan rumah ini kental dengan budaya nenek moyang di masa lalu. Sinkretisme agama dan kepercayaan kejawen memberikan pengaruh terhadap bentuk dan tata ruang rumah adat Joglo.
Rumah Joglo Situbondo ini memiliki ciri khas dengan kesederhanaannya, namun memiliki cita rasa seni yang tinggi. Secara ukuran, rumah adat ini tidak terlalu besar.
Rumah tradisional ini memiliki bentuk limasan atau dara gepak. Joglo Situbondo sesuai dengan namanya banyak ditemukan di daerah Situbondo, Jawa Timur. Hal inilah yang menjadikan namanya menjadi Joglo Situbondo. Namun, selain di sana, rumah adat ini juga banyak ditemukan di Ponorogo.
Pada umumnya bangunan ini menggunakan kayu jati murni sebagai bahan bangunannya. Hal ini dipercayai karena kayu jati memiliki kekuatan yang besar serta memiliki daya tahan yang cukup lama. Tata bangunan rumah adat Joglo Situbondi ini mencerminkan hubungan antar sesama manusia serta manusia dengan alam sekitar. Prinsip ini tercermin jelas melalui tata bangunannya. Selain itu, kepercayaan masyarakat Jawa juga sangat banyak mempengaruhi dalam porsi pembangunan rumah adat ini. Pondasi, tiang penyangga, tanah yang diratakan serta dibuat lebih tinggi dari sekelilingnya merupakan beberapa hal yang mencerminkan pengaruh budaya Jawa dalam pembangunan rumah adat ini.
Rumah Limasan
Rumah limasan juga biasa dikenali dengan sebutan rumah joglo limasan atau joglo lawakan. Bila dilihat sekilas, bentuk rumah joglo mirip dengan limasan. Perbedaannya ada pada bagian atap rumah limasan yang terlihat mirip dengan atap rumah tradisional Sumatera Selatan.
Struktur rangka pada rumah limasan berupa batang-batang kayu yang kemudian disusun dengan sistem kubus beratap limas. Bangunan dengan gaya limasan tergolong fleksibel, dimana sambungan antar kayu tidak saling kaku. Sehingga bangunan dengan gaya ini dapat digunakan di daerah yang rawan gempa.
Rumah Tanean Lanjhang
Tanean Lanjhang adalah Permukiman tradisional Madura adalah suatu kumpulan rumah yang terdiri atas keluarga-keluarga yang mengikatnya. Letaknya sangat berdekatan dengan lahan garapan, mata air atau sungai. Antara permukiman dengan lahan garapan hanya dibatasi tanaman hidup atau peninggian tanah yang disebut galengan atau tabun, sehingga masing-masing kelompok menjadi terpisah oleh lahan garapannya. Satu kelompok rumah terdiri atas 2 sampai 10 rumah, atau dihuni sepuluh keluarga yaitu keluarga batih yang terdiri dari orang tua, anak, cucu, cicit dan seterusnya. Jadi hubungan keluarga kandung merupakan ciri khas dari kelompok ini.
Rumah adat Osing
Rumah Osing atau Using adalah rumah adat suku Osing yang berada di Desa Kemiren, Banyuwangi. Daerah tersebut juga sudah ditetapkan sebagai cagar budaya. Rumah Osing tidak boleh dibangun menghadap gunung dan harus menghadap jalan. Tidak ada ritual khusus untuk mendirika rumah Osing. Namun, setelah selesai mendirikan rumah Osing, masyarakat di Bayuwangi biasanya melakukan selamatan. Arah hadap rumah Osing pada saat pendirian ditentukan dari hari kematian orang tua. Orientasi ke Utara untuk hari Kamis, Timur untuk hari Selasa, Selatan untuk hari Rabu, dan Barat untuk hari Senin atau Minggu. Satu rumah hanya bisa dihuni oleh satu keluarga utuh saja. Ruangan kamar anak akan diletakkan dilahan paling depan (terdekat) dengan jalan utama, dan ruangan kamar orang tua berada di belakang dari jalan utama.
Dhurung
Dhurung adalah nama dari sebuah bangunan tak berdinding yang terbuat dari kayu atau bambu. Atapnya berupa rumbai yang terbuat dari daun pohan yang dalam bahasa Bawean disebut pohon dheun. Dalam tradisi masyarakat Bawean, pulau yang berjarak sekitar 120 km arah utara dari Kabupaten Gresik, Jawa timur. "Dhurung" ini digunakan untuk menerima tamu yang sifatnya nonformal atau sekedar duduk-duduk santai dan beristirahat setelah pulang bekerja serta mengobrol dengan tetangga sebagai sarana sosialisasi antar warga. Selain sebagai tempat istirahat dhurung juga difungsikan sebagai lumbung padi atau hasil panen lainnya yang diletakan pada bagian atasnya. Jika dilihat sekilas, dhurung ini mirip gazebo pada rumah-rumah moderen saat ini.
Bagian rangka dan papan dudukan terbuat dari kayu sedangkan atapnya terbuat dari rumbia yang dalam bahasa bawean disebut dheun. Kayu yang digunakan biasanya kayu jati atau kayu lokal yang ada disekitar Bawean. Bagian yang cukup menarik dari dhurung ini adalah pada ukiran di beberapa bagian seperti tiang serta adanya jhelepang yaitu semacam jebakan atau penghambat tikus sehingga dapat melindungi lumbung padi.
Rumah Adat Tengger
Rumah Adat Tengger adalah rumah adat yang dibangun oleh suku Tengger yang ada di daerah lereng Gunung Bromo, desa Ranupane, kabupaten Lumajang, provinsi Jawa Timur.
Suku Tengger atau juga disebut wong Tengger atau wong Brama adalah suku yang mendiami dataran tinggi sekitaran kawasan pegunungan Bromo-Tengger-Semeru, Jawa Timur, Indonesia. Penduduk suku Tengger menempati sebagian wilayah Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Lumajang, Kabupaten Probolinggo, dan Kabupaten Malang.
17. Rumah Adat Provinsi Kalimantan Barat
Rumah PanjangRumah Panjang (rumah Radank) adalah salah satu rumah adat dari daerah Kalimantan Barat. Rumah Panjang adalah ciri khas dari masyarakat Dayak yang tinggal di daerah Kalimantan Barat. Hal ini dikarenakan rumah panjang adalah gambaran sosial kehidupan masyarakat Dayak di Kalimantan Barat. Rumah panjang juga merupakan pusat kehidupan dari masyarakat Dayak. Saat ini, rumah panjang di Kalimantan Barat dapat dikatakan hampir punah karena jumlahnya yang sedikit. Pada tahun 1960, pemerintah menghancurkan beberapa rumah panjang karena dicurigai menganut paham komunis. Rumah panjang di daerah Kalimantan Barat identik dengan rumah panjang yang ada di Kalimantan Tengah. Hal ini dikarenakan letak geografi Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah yang sangat berdekatan. Keduanya sama-sama dikenal dengan nama Rumah Betang.
Dahulu kala, rumah Panjang dari Kalimantan Barat terbuat dari kayu. Rumah panjang dari Kalimantan Barat mempunyai tinggi 5 sampai 8 meter. Tinggi rumah tergantung dari tinggi tiang yang menopang rumah tersebut. Rumah panjang dari Kalimantan barat mempunyai panjang sekitar 180 meter dan lebar 6 meter. Rumah panjang memiliki sekita 50 ruangan. Ruangan-ruangan ini umumnya dihuni oleh banyak keluarga yang di dalamnya juga termasuk keluarga inti. Untuk masuk ke rumah panjang, keluarga mengunnakan tangka atau anak tangga. Rumah panjang di Kalimantan Barat mempunyai bentuk yang sempit tetapi dengan ukuran panjang yang ekstrem. Rumah ini hanya terdiri dari satu kamar. Rumah panjang terdiri dari beberapa bagian yaitu teras atau biasa disebut dengan pante, ruang tamu yang biasa disebut dengan samik, dan ruang keluarga. Dalam ruang tamu terdapat sebuah meja yang disebut pene yang berfungsi sebagai tempat berbicara atau menerima tamu. Pene berbentuk lingkarang dan digunakan untuk meletakkan makanan atau minuman untuk menyambut tamu. Ruang keluarga adalah ruang sederhana yang mempunyai panjang 6 meter dan lebar 6 meter. Bagian belakang rumah panjang digunakan sebagai dapur untuk keluarga. Umumnya, setiap keluarga mempunyai dapur masing-masing.
Pada umumnya, rumah panjang digunakan untuk tempat tinggal beberapa keluarga. Akan tetapi, rumah panjang tidak hanya digunakan sebagai tempat tinggal saja. Rumah panjang dibangun tinggi karena berfungsi untuk menghindari serangan binatang buas. Tinggi rumah panjang juga berperan untuk menjaga keselamatan keluarga dari serangan suku-suku lain dalam masyarakat Dayak. Rumah panjang juga sering kali digunakan untuk kegiatan-kegiatan masyarakat seperti rapat atau pertemuan-pertemuan. Tidak hanya pertemuan-pertemuan masyarakat, rumah panjang juga dipakai untuk upacara-upacara adat atau ritus-ritus yang ada dalam masyarakat Dayak. Oleh Karena itu, rumah panjang bukan hanya milik pribadi tetapi juga milik masyarakat Dayak.
Rumah Baluk
Rumah Baluk atau Balug adalah rumah adat Dusun Hli Buei, Desa Sebujit, Kecamatan Siding, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat. Meski serumpun dengan Suku Dayak, bentuk rumah adat Suku Dayak Bidayuh berbeda dari Suku Dayak yang kebanyakan berbentuk panjang dan besar dengan nama Rumah Betang. Perbedaan ini dikarenakan kontur tanah kampung Sebujit didominasi perbukitan dan lembah sehingga tidak memungkinkan membangun Rumah Betang.
Balug biasanya dibangun di dataran paling tinggi di kampung supaya makin mendekatkan diri kepada Tipaiyakng (Tuhan) dan memudahkan untuk memantau keadaan kampung. Selain itu juga balug digunakan sebagai pusat kegiatan warga kampung dan pusat informasi. Tahun 2010, replika Rumah Balug dibangun di Taman Mini Indonesia Indah.
Bentuknya seperti kaleng ceper beratap limas dengan 3 tingkatan dan 1 buah bumbungan sebagai tempat menyimpan peti berisi tengkorak hasil ngayau. Terakhir balug dibuat pada 1997 yang dibagun sama persis dengan balug yang dibuat pada 1950-an. Ada 21 tiang penyangga untuk memerkokoh balug. Lantainya terbuat dari kayu belian, dengan dinding terbuat dari bambu dan atapnya terbuat dari daun sagu. Tingginya sekitar 20 meter.
18. Rumah Adat Provinsi Kalimantan Tengah
Rumah BetangRumah betang adalah rumah adat khas Kalimantan yang terdapat diberbagai penjuru Kalimantan dan dihuni oleh masyarakat Dayak terutama di daerah hulu sungai yang biasanya menjadi pusat permukiman suku Dayak.
Ciri-ciri Rumah Betang yaitu yaitu bentuk panggung dan memanjang. Panjangnya bisa mencapai 30-150 meter serta lebarnya dapat mencapai sekitar 10-30 meter, memiliki tiang yang tingginya sekitar 3-5 meter. Setiap Rumah Betang dihuni oleh 100-150 jiwa, Betang dapat dikatakan sebagai rumah suku, karena selain di dalamnya terdapat satu keluarga besar yang menjadi penghuninya dan dipimpin pula oleh seorang Pambakas Lewu.
Pada suku Dayak tertentu, pembuatan rumah Betang haruslah memenuhi beberapa persyaratan berikut di antaranya pada hulunya haruslah searah dengan matahari terbit dan sebelah hilirnya ke arah matahari terbenam. Hal ini dianggap sebagai simbol dari kerja keras untuk bertahan hidup mulai dari matahari terbit hingga terbenam.Semua suku Dayak, terkecuali suku Dayak Punan yang hidup mengembara, pada mulanya berdiam dalam kebersamaan hidup secara komunal di rumah betang/rumah panjang, yang lazim disebut Lou, Lamin, Betang, dan Lewu Hante.
Rumah Panjang/Rumah Betang bagi masyarakat Dayak tidak saja sekadar ungkapan legendaris kehidupan nenek moyang, melainkan juga suatu pernyataan secara utuh dan konkret tentang tata pamong desa, organisasi sosial serta sistem kemasyarakatan, sehingga tak pelak menjadi titik sentral kehidupan warganya. Sistem nilai budaya yang dihasilkan dari proses kehidupan rumah panjang, menyangkut soal makna dari hidup manusia; makna dari pekerjaan; karya dan amal perbuatan; persepsi mengenai waktu; hubungan manusia dengan alam sekitar; soal hubungan dengan sesama. Dapat dikatakan bahwa rumah betang memberikan makna tersendiri bagi masyarakat Dayak. Rumah betang adalah pusat kebudayaan mereka karena disanalah seluruh kegiatan dan segala proses kehidupan berjalan dari waktu ke waktu.
Rumah betang memang bukan sebuah hunian mewah dengan aneka perabotan canggih seperti yang diidamkan oleh masyarakat modern saat ini. Rumah betang cukuplah dilukiskan sebagai sebuah hunian yang sederhana dengan perabotan seadanya. Namun, dibalik kesederhanaan itu, rumah betang menyimpan sekian banyak makna dan sarat akan nilai-nilai kehidupan yang unggul. Tak dapat dimungkiri bahwa rumah telah menjadi simbol yang kukuh dari kehidupan komunal masyarakat Dayak. Dengan mendiami rumah betang dan menjalani segala proses kehidupan di tempat tersebut, masyarakat Dayak menunjukkan bahwa mereka juga memiliki naluri untuk selalu hidup bersama dan berdampingan dengan warga masyarakat lainnya. Mereka mencintai kedamaian dalam komunitas yang harmonis sehingga mereka berusaha keras untuk mempertahankan tradisi rumah betang ini. Harapan ini didukung oleh kesadaran setiap individu untuk menyelaraskan setiap kepentingannya dengan kepentingan bersama. Kesadaran tersebut dilandasi oleh alam pikiran religio-magis, yang menganggap bahwa setiap warga mempunyai nilai dan kedudukan serta hak hidup yang sama dalam lingkungan masyarakatnya.
Rumah betang selain sebagai tempat kediaman juga merupakan pusat segala kegiatan tradisional warga masyarakat. Apabila diamati secara lebih saksama, kegiatan di rumah panjang menyerupai suatu proses pendidikan tradisional yang bersifat non-formal. Rumah betang menjadi tempat dan sekaligus menjadi sarana yang efektif bagi masyarakat Dayak untuk membina keakraban satu sama lain. Di tempat inilah mereka mulai berbincang-bincang untuk saling bertukar pikiran mengenai berbagai pengalaman, pengetahuan dan keterampilan satu sama lain. Hal seperti itu bukanlah sesuatu yang sukar untuk dilakukan, meskipun pada malam hari atau bahkan pada saat cuaca buruk sekalipun, sebab mereka berada di bawah satu atap. Demikianlah pengalaman, pengetahuan dan keterampilan diwariskan secara lisan kepada generasi penerus. Dalam suasana kehidupan rumah panjang, setiap warga selalu dengan sukarela dan terbuka terhadap warga lainnya dalam memberikan petunjuk dan bimbingan dalam mengerjakan sesuatu. Kesempatan seperti itu juga terbuka bagi kelompok dari luar rumah panjang.
19. Rumah Adat Provinsi Kalimantan Selatan
Rumah Bubungan TinggiRumah Bubungan Tinggi atau Rumah Ba-Bubungan Tinggi adalah salah satu jenis rumah Baanjung yaitu rumah tradisional suku Banjar di Kalimantan Selatan dan bisa dibilang merupakan ikonnya Rumah Banjar karena jenis rumah inilah yang paling terkenal karena menjadi maskot rumah adat khas provinsi Kalimantan Selatan. Di dalam kompleks keraton Banjar dahulu kala bangunan rumah Bubungan Tinggi merupakan pusat atau sentral dari keraton yang menjadi istana kediaman raja (bahasa Jawa: kedhaton) yang disebut Dalam Sirap (bahasa Jawa: ndalem) yang dahulu tepat di depan rumah tersebut dibangun sebuah Balai Seba pada tahaun 1780 pada masa pemerintahan Panembahan Batuah.
Rumah Bubungan Tinggi yang berfungsi sebagai bangunan Dalam Sultan (kedaton) yang diberi nama Dalam Sirap, merupakan rumah yang paling tinggi kastanya. Yang berfungsi sebagai istana kediaman sultan. Kualitas serta kemegahan seninya mencerminkan status sosial maupun status ekonomi sang pemilik rumah.
Ciri-ciri rumah tradisional Bubungan Tinggi juga ditunjukkan dengan bentuk-bentuk ornamen berupa ukiran. Ukiran-ukiran tersebut biasanya terdapat pada tiang, tataban, papilis, dan tangga. Bentuk dan seni ukir inipun banyak mendapat pengaruh dari Agama Islam, kebanyakan motif yang digambarkan adalah motif floral (daun dan bunga). Motif-motif binatang seperti pada ujung pilis yang menggambarkan burung enggang gading dan naga juga dibumbui dengan motif floral. Selain bentuk floral dan binatang tedapat juga ukiran-ukiran berbentuk kaligrafi.
Terdapat setidaknya 9 jenis rumah di Kalimantan selatan
Rumah Palimasan Rumah Palimasan adalah salah salah satu jenis rumah Baanjung yaitu rumah tradisional suku Banjar (disebut rumah Banjar) di Kalimantan Selatan. Rumah Adat Banjar Tipe Palimasan di Kesultanan Banjar digunakan sebagai rumah bendaharawan istana/kerajaan yang memelihara emas dan perak Kesultanan.
Rumah ini tidak dibangun dengan sisi panjang di sejajar jalan, tetapi tegak lurus terhadap jalan. Pada rumah Palimasan semua bagian atapnya menggunakan atap perisai sehingga membentuk atap limas. Jika memakai anjung, atapnya juga berupa atap perisai yang dinamakan Rumah Ba'anjung tipe Palimasan.
Rumah Palimbangan Palimbangan adalah salah satu jenis rumah Baanjung yaitu rumah tradisional suku Banjar (disebut rumah Banjar) di Kalimantan Selatan. Di zaman Kesultanan Banjar rumah Tipe ini digunakan sebagai hunian para tokoh agama (Islam) dan para Alim Ulamanya.
Rumah ini tidak dibangun dengan sisi panjang di sejajar jalan, tetapi tegak lurus terhadap jalan. Bumbungan atap rumah Palimbangan pada rumah induk memakai atap pelana dengan tebar layar yang disebut Tawing Layar. Kebanyakan rumah Palimbangan tidak menggunakan anjung. Namun jika memakai anjung maka atapnya juga menggunakan atap pelana dengan Tawing Layar menghadap ke depan. Pada teras/emper depan ditutup dengan atap sengkuap (atap lessenaardak) yang disebut atap Sindang Langit. Pada perkembangannya atap teras yang disebut Atap Sindang Langit ini melebar ke emper samping sampai di depan Anjung membentuk atap jurai luar (disebut Jurai Laki) pada ujung sudut-sudut atap empernya.
Rumah Palimbangan diperuntukkan bagi golongan saudagar besar atau ulama pedagang. Rumah Palimbangan mirip dengan rumah Balai Laki karena sama-sama menggunakan atap pelana, tetapi pada Rumah Balai Laki menggunakan model anjung Pisang Sasikat (atap sengkuap). Biasanya Rumah Palimbangan berukuran lebih besar daripada rumah Balai Laki.
Rumah Balai Bini Rumah Balai Bini adalah salah satu jenis rumah Baanjung yaitu rumah tradisional suku Banjar di Kalimantan Selatan. Rumah adat tipe Balai Bini biasanya dimasa Kesultanan Banjar dihuni oleh para puteri Sultan atau warga Sultan dari pihak perempuan. Rumah Balai Bini merupakan tempat tinggal para pengasuh.
Pada Rumah Balai Bini, tubuh bangunan induk memakai atap perisai yang disebut Atap Gajah, sedangkan sayap bangunan (anjung) memakai atap sengkuap/lessenaardak yang disebut Atap Anjung Pisang Sasikat.
Rumah Gajah Manyusu Rumah Gajah Manyusu adalah nama kolektif untuk semua bentuk-bentuk rumah tradisional suku Banjar dengan ciri khasnya pada bangunan induknya menggunakan atap perisai buntung.
Rumah ini mempunyai ciri pada bentuk atap limas dengan hidung bapicik (atap mansart) pada bagian depannya. Anjung mempunyai atap Pisang Sasikat, sedang surambinya beratap Sindang Langit. (Tim Depdikbud, Rumah Adat Banjar dan Ragam Hiasnya, Proyek Rehabilitasi dan Perlusan Museum Kalsel, Depdikbud, 1977/1978).
Namun pada kesempatan lain, Tim Museum dan Purbakala Depdikbud Kalsel berbeda pendapat, mereka menyebutkan bahwa Rumah Gajah Manyusu: "Bentuk sampai dengan anjung sama dengan Gajah Baliku. Yang berbeda adalah adalah bagian padu. Panampik padu diberi dua buah Ambin Sayup yang bentuknya lebih kecil dari anjung dan lebih rendah letaknya".
Rumah Balai Laki Rumah Ba'anjung tipe Balai Laki adalah salah satu jenis rumah Baanjung yaitu rumah tradisional suku Banjar (disebut rumah Banjar) di Kalimantan Selatan. Rumah adat Banjar tipe ini dalam sejarah Banjar dikenal sebagai rumah hunian para Punggawa mantri dan para prajurit pengawal keamanan Kesultanan Banjar.
Rumah ini tidak dibangun dengan sisi panjang di sejajar jalan, tetapi tegak lurus terhadap jalan. Bentuk atap pada bangunan depan/rumah induk Rumah Ba'anjung Balai Laki memakai atap pelana. Dalam bahasa Indonesia, model atap pelana tersebut disebut atap gudang, sehingga sebutan untuk tipe rumah beratap pelana tersebut dalam bahasa Indonesia dinamakan Rumah Gudang.
Atap pada sayap bangunan (Anjung) memakai atap sengkuap yang disebut atap Pisang Sasikat seperti pada rumah Bubungan Tinggi. Dalam bentuk umum Balai Laki sama dengan Palimbangan, tetapi dengan ukuran lebih kecil dan sama-sama menggunakan atap pelana dan diberi Sungkul Atap bertatah dan bisa memakai anjung namun berbeda bentuknya.
Rumah Cacak Burung Rumah Ba'anjung Cacak Burung adalah salah satu jenis rumah Baanjung yaitu rumah tradisional suku Banjar (disebut rumah Banjar) di Kalimantan Selatan yang merupakan rumah hunian rakyat biasa yang umumnya para petani dan pekerja.
Rumah induk yang memanjang dari muka ke belakang memakai atap pelana (bahasa Banjar: atap balai laki) kemudian ditambahkan suatu atap limas dalam posisi melintang yang menutupi sekaligus ruang Palidangan beserta kedua buah anjungnya. Posisi nok (pamuung/wuwungan) atap limas yang menghalang/melintang ini biasanya lebih tinggi daripada posisi nok atap pelana pada atap muka yang membujur menutupi ruang Paluaran (ruang tamu).
Hal ini merupakan suatu simbol bentuk Cacak Burung. Simbol Cacak Burung adalah tanda magis penolak bala yang berbentuk tanda + (positif), karena denah bangunan ini berbentuk + (tanda tambah), maka dinamakan pula rumah Cacak Burung.
Rumah Tadah Alas Tadah Alas adalah salah satu rumah tradisonal suku Banjar (rumah Banjar) di Kalimantan Selatan. Rumah Tadah Alas merupakan pengembangan dari Rumah Balai Bini yaitu dengan menambahkan satu lapis atap perisai sebagai kanopi paling depan. Atap kanopi inilah yang disebut "tadah alas" sehingga rumah adat ini dinamakan rumah Tadah Alas.
20. Rumah Adat Provinsi Kalimantan Timur
Rumah LaminRumah Lamin adalah rumah adat dari Kalimantan Timur. Rumah Lamin adalah identitas masyarakat Dayak di Kalimantan Timur. Rumah Lamin mempunyai panjang sekitar 300 meter, lebar 15 meter, dan tinggi kurang lebih 3 meter. Rumah Lamin juga dikenal sebagai rumah panggung yang panjang dari sambung menyambung. Rumah ini dapat ditinggal oleh beberapa keluarga karena ukuran rumah yang cukup besar. Salah satu rumah Lamin yang berada di Kalimantan Timur bahkan dihuni oleh 12 sampai 30 keluarga. Rumah Lamin dapat menampung kurang lebih 100 orang. Pada tahun 1967, rumah Lamin diresmikan oleh pemerintah Indonesia.
Rumah Lamin memiliki beberapa ciri khas yang umumnya dapat langsung dikenali. Pada badan rumah Lamin, banyak ditemukan ukiran-ukiran atau gambar yang mempunyai makna bagi masyarakat Dayak di Kalimantan Timur. Salah satu fungsi dari ukiran-ukiran atau gambar pada tubuh rumah Lamin adalah untuk menjaga keluarga yang hidup dalam rumah dari bahaya. Bahaya disini adalah ilmu-ilmu hitam yang umumnya ada di masyarakat Dayak yang digunakan untuk mencelakai seseorang. Rumah Lamin mempunyai warna khas yang dipakai untuk menghias badan rumah. Warna khas itu adalah warna kuning dan hitam. Namun, tidak hanya dua warna itu yang digunakan untuk menghias rumah Lamin. Setiap warna yang dipakai untuk menghias rumah Lamin mempunyai makna. Warna kuning melambangkan kewibawaan, warna merah melambangkan keberanian, warna biru melambangkan kesetiaan, dan warna putih melambangkan kebersihan jiwa. Rumah Lamin dibuat dari kayu. Kayu yang digunakan untuk membuat rumah Lamin adalah kayu Ulin. Kayu ini dikenal oleh masyarakat Dayak dengan nama kayu besi. Konon, apabila kayu ulin terkena air maka kayu ini akan semakin keras. Hal ini terbukti dari lamanya usia rumah Lamin yang dibuat dengan menggunakan kayu ulin. Hanya saja, ada berbagai kesulitan untuk menemukan kayu ini di hutan. Halamn rumah Lamin biasanya dipenuhi dengan patung-patung atau totem. Patung-patung atau totem ini merupakan dewa-dewa yang dipercaya oleh masyarakat Dayak sebagai penjaga rumah dari bahaya. Rumah Lamin terbagi atas tiga ruangan yaitu ruangan dapur, ruangan tidur, dan ruang tamu. Ruang tidur terletak berderet dan umumnya dimiliki oleh masing-masing keluarga yang tinggal di dalam rumah tersebut. Ruang tidur juga dibedakan antara ruang tidur lelaki dan ruang tidur perempuan kecuali jika sang lelaki dan perempuan sudah menikah. Ruang tamu umumnya digunakan untuk menerima tamu dan juga untuk pertemuan adat. Ruang tamu adalah ruangan kosong yang panjang. Di sisi luar rumah Lamin, ada sebuah tangga yang digunakan untuk masuk ke dalam. Tangga ini mempunyai bentuk dan model yang sama baik pada rumah Lamin yang dihuni masyarakat Dayak kelas menengah ke atas maupun masyarakat Dayak kelas menengah ke bawah. Di bagian bawa rumah Lamin biasanya digunakan untuk memelihara ternak.
Rumah Lamin berbentuk persegi panjang dan memiliki atap yang berbentuk seperti pelana. Rumah ini mempunyai tinggi kurang lebih 3 meter dari tanah. Rumah Lamin memiliki lebar kurang lebih 15-25 meter dan panjang 200-300 meter. Rumah Lamin dibangun dengan beberapa tiang penyangga untuk menopang rumah. Tiang-tiang penyangga rumah Lamin dibagi atas dua bagian. Tiang penyangga inti adalah tiang yang menyangga atap rumah Lamin. Tiang penyangga lainnya adalah tiang yang menopang lantai-lantai rumah lamin. Tiang-tiang ini berbentuk seperti tabung. Pintu masuk rumah Lamin dihubungkan dengan beberapa tangga sebagai jalan masuk ke dalam rumah. Pada halaman depan rumah Lamin terdapat patung-patung atau totem yang dibuat dari kayu. Pada bagian tengah rumah ada sebuah tiang besar yang dibuat dari kayu yang berfungsi untuk mengikat ternak atau hewan peliharaan. Bagian ujung atap rumah Lamin dihiasi dengan kepala Naga yang terbuat dari kayu.
21. Rumah Adat Provinsi Kalimantan Utara
Rumah BaloyRumah adat terkenal dari masyarakat Kalimantan Utara disebut Rumah Baloy. Rumah adat ini merupakan hasil kebudayaan seni arsitektur dari masyarakat suku Tidung, Kalimantan Utara. Seperti suku lainnya, suku Tidung ini mempunyai kebudayaan dan model rumah adat sendiri. Walaupun rumah adat ini masih menggunakan sejumlah tiang tinggi pada bagian bawahnya, bentuk bangunan rumah adat ini terlihat lebih modern dan modis. Diduga rumah adat ini adalah hasil pengembangan arsitektur Dayak dari Rumah Panjang (Rumah Lamin) seperti yang dihuni oleh suku Dayak Kenyah di Kalimantan Timur.
Rumah adat ini berbahan dasar kayu ulin. Rumah Baloy dibangun menghadap ke utara, sedangkan pintu utamanya menghadap ke selatan. Di dalam Rumah Baloy terdapat empat ruang utama yang biasa disebut Ambir, yaitu:
- Ambir Kiri (Alad Kait), adalah tempat untuk menerima masyarakat yang mengadukan perkara, atau masalah adat.
- Ambir Tengah (Lamin Bantong), adalah tempat pemuka adat bersidang untuk memutuskan perkara adat.
- Ambir Kanan (Ulad Kemagot), adalah ruang istirahat atau ruang untuk berdamai setelah selesainya perkara adat.
- Lamin Dalom, adalah singgasana Kepala Adat Besar Dayak Tidung.
Di belakang Lubung Kilong ini, ada lagi sebuah bangunan besar yang diberi nama Lubung Intamu, yaitu tempat pertemuan masyarakat adat yang lebih besar, seperti acara pelantikan (pentabalan) pemangku adat atau untuk acara musyawarah masyarakat adat se-Kalimantan.
22. Rumah Adat Provinsi Sulawesi Selatan
Rumah TongkonanTongkonan adalah rumah adat masyarakat Toraja. Atapnya melengkung menyerupai perahu, terdiri atas susunan bambu (saat ini sebagian tongkonan menggunakan atap seng). Di bagian depan terdapat deretan tanduk kerbau. Bagian dalam ruangan dijadikan tempat tidur dan dapur. Berasal dari kata tongkon (artinya duduk bersama-sama). Tongkonan dibagi berdasarkan tingkatan atau peran dalam masyarakat (strata sosial Masyarakat Toraja). Di depan Tongkonan terdapat lumbung padi, yang disebut "alang". Tiang-tiang lumbung padi ini dibuat dari batang pohon palem (banga). Saat ini sebagian sudah dicor. Di bagian depan lumbung terdapat berbagai ukiran, antara lain bergambar ayam dan matahari (disebut pa'bare' allo), yang merupakan simbol untuk menyelesaikan perkara.
Khususnya di Sillanan-Pemanukan (Tallu Lembangna) yang dikenal dengan istilah Ma'duangtondok terdapat tongkonan yaitu Tongkonan Karua (delapan rumah tongkonan) dan Tongkonan A'pa' (empat rumah tongkonan) yang memegang peranan dalam masyarakat sekitar.
Tongkonan karua terdiri dari:
- Tongkonan Pangrapa'(Kabarasan)
- Tongkonan Sangtanete Jioan
- Tongkonan Nosu (To intoi masakka'na)
- Tongkonan Sissarean
- Tongkonan Karampa' Panglawa padang
- Tongkonan Tomentaun
- Tongkonan To'lo'le Jaoan
- Tongkonan To Barana' Versi lain Tongkonan Lombok Indo' Piso
- Tongkonan Peanna Sangka'
- Tongkonan To'induk
- Tongkonan Karorrong
- Tongkonan Tondok Bangla' (Pemanukan)
Stara sosial di masyarakat Sillanan di bagi atas 3 tingkatan yaitu:
- Ma'dika (darah biru/keturunan bangsawan);
- To Makaka (orang merdeka/bebas);
- Kaunan (budak), budak masih dibagi lagi dalam 3 tingkatan.
Pada awalnya Kabarasan dipegang oleh Tintribuntu yang berkedudukan di Buntu Lalanan (rumah adat Buntu sebelah barat). Kemudian Anaknya Tintribuntu yaitu Tome kawin dengan anak dari Tongkonan Sangtanete Jioan (Tongkonan Sangtanete sebelah timur). Sampai dipertahankan oleh Pong Paara' di Sangtanete Jioan. Setelah Pong Paara' meninggal (tidak ada anaknya), akhirnya muncul pemberani dari Doa' (Rumah adat Doa') yaitu So'Padidi (alias Pong Arruan). Kabarasan dipindahkan ke Doa'. Kekuasaan lemah di Doa' setelah So' Padidi meninggal, karena semua anaknya adalah perempuan 3 orang, sehingga muncul tipu muslihat yang mengatakan bahwa bisa dipotongkan kerbau 3 ekor saja. Karena minimal kerbau dikorbankan adalah 4, maka Doa' dianggap tidak mampu memegang kekuasaan. Akhirnya dibawa Boroalla ke Tongkonan Pangrapa', sampai saat ini.
Rumah Bola Soba
Bola Soba adalah rumah adat yang berasal dari Sulawesi Selatan. Rumah ini merupakan rumah bangsawan dari suku Bugis. Tidak hanya itu, rumah Bola Soba juga merupakan rumah dari raja Bugis. Kata bola soba dalam Bahasa Indonesia berarti persahabatan jadi Rumah Bola Soba berarti rumah persahabatan. Bahan dasar dari rumah ini adalah kayu. Rumah ini mempunyai model seperti rumah panggung dengan beberapa tiang yang menyangga badan rumah. Pada tahun 1920, Rumah Bola Soba menjadi tempat penginapan bagi tamu-tamu yang berasal dari luar negeri seperti Belanda. Rumah Bola Soba memiliki panjang sekitar 40 meter. Teras rumah sepanjang 6 Meter, rumah induk sepanjang 21 Meter, dan bagian belakang rumah sepanjang 8 Meter. Bagian belakang rumah umumnya digunakan sebagai dapur. Saat ini, bagian dalam Rumah Bola Soba berisi barang-barang bersejarah berupa meriam dan berbagai peralatan perang. Saat ini, rumah ini digunakan seperti museum. Rumah Bola Soba juga sering digunakan untuk pertemuan-pertemuan adat.
Rumah adat Karampuang
Rumah Adat Karampuang terletak di desa Karampuang, Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan. Rumah adat Karampuang terdiri dari dua unit rumah adat yang masing-masing ditempati oleh pemangku adat dengan fungsi yang berbeda-beda. Satu sebagai tempat tinggal raja (Arung atau To Matoa) yang juga sebagai tempat menyimpan benda-benda kerajaan (arajang). Sementara satu unit lainnya sebagai tempat tinggal perdana menteri (Gella)
Rumah adat Sao Mario
Rumah adat Sao Mario adalah rumah adat dan juga kawasan wisata budaya yang letaknya berada di Kelurahan Manorang Salo, Kecamatan Mario Riawa, Kampung Awakaluku, Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan. Jarak kawasan wisata budaya ini dengan kota Watangsoppeng kurang lebih sekitar 32 Km. Rumah adat ini memiliki bentuk seperti sebuah kompleks yang didalamnya terdapat beberapa miniatur rumah adat dari daerah lain di Sulawesi Selatan yaitu rumah adat suku Makassar, suku Bugis, suku Mandar dan suku Toraja juga terdapat rumah adat dari Minangkabau dan Batak serta ada juga rumah lontara. Dalam bahasa Bugis rumah adat ini juga biasa disebut dengan "bola seratu" yang artinya adalah rumah seratus. Dikatakan rumah seratus karena rumah ini memiliki 119 tiang. Sudah menjadi ciri khas rumah adat Bugis memiliki banyak tiang penyangga di bawah rumah. Saat ini rumah ini difungsikan sebagai museum tempat menyimpan barang barang antik bernilai tinggi yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri, benda- benda pusaka dan benda benda kerajaan dari beberapa provinsi di Indonesia.
23. Rumah Adat Provinsi Sulawesi Barat
Rumah BoyangRumah Boyang adalah rumah adat yang berasal dari Provinsi Sulawesi Barat. Rumah Boyang memiliki gaya arsitektur yang unik, berbentuk rumah panggung yang tersusun dari material kayu dan ditopang tiang-tiang penyangga. Rumah ini menjadi tempat tinggal Suku Mandar yang merupakan suku asli dari Sulawesi Barat.
Rumah boyang terdiri dari dua jenis, yaitu "boyang adaq" dan "boyang beasa". Boyang adaq merupakan tempat tinggal bagi bangsawan, sedangkan boyang beasa merupakan tempat tinggal rakyat biasa. Pada boyang adaq diberi ornamen yang melambangkan identitas tertentu yang mendukung tingkat status sosial penghuninya. Di antaranya memiliki tumbaq layar (penutup bubungan) yang memiliki tiga sampai tujuh susun, semakin banyak susunannya semakin tinggi derajat kebangsawanannya. Selain itu boyang adaq memiliki dua susun tangga, susunan pertama terdiri atas tiga anak tangga, sedangkan susunan kedua terdiri atas sembilan atau sebelas anak tangga. Kedua susunan tangga tersebut di antarai oleh pararang. Ciri-ciri yang dimiliki boyang beasa tidak semegah boyang adaq, karena hanya memiliki satu susun penutup bubungan dan satu susun anak tangga.
Rumah boyang memiliki struktur rumah panggung yang menggunakan material kayu dan ditopang oleh beberapa tiang yang terbuat dari kayu berukuran besar dengan tinggi dua meter. Tiang-tiang tersebut berfungsi untuk menopang lantai dan atap rumah, tiang ini tidak ditancapkan ke tanah melainkan hanya ditumpangkan di sebuah batu datar untuk mencegah kayu melapuk. Rumah boyang memiliki dua buah tangga yang terletak di bagian depan dan belakang rumah. Tangga-tangga tersebut harus memiliki jumlah yang ganjil, umumnya antara 7 sampai 13 buah dan dilengkapi dengan sebuah pegangan di bagian sisi kanan dan kiri tangga. Sedangkan dinding dan lantai rumah menggunakan material papan. Dinding rumah biasanya menggunakan papan yang sudah diukir sesuai dengan motif khas suku mandar. Pada dinding dilengkapi dengan jendela yang berfungsi sebagai media untuk sirkulasi udara.
Rumah boyang memiliki atap berbentuk prisma dan memanjang dari bagian depan sampai bagian belakang rumah. Pada umumnya, atap terbuat dari seng. Sebagian ada yang menggunakan rumbia dan sirap. Pada zaman dahulu, rumah-rumah penduduk baik boyang adaq maupun boyang beasa menggunakan atap rumbia. Hal ini disebabkan karena bahan tersebut banyak tersedia dan mudah untuk mendapatkannya. Pada bagian depan atap terdapat tumbaq layar (penutup bubungan) yang memberi identitas tentang status sosial bagi penghuninya. Pada penutup bubungan tersebut sering dipasang ornamen ukiran bunga melati. Di ujung bawah atap, baik pada bagian kanan maupun kiri sering diberi ornamen ukiran burung atau ayam jantan. Pada bagian atas penutup bubungan, baik di depan maupun belakang dipasang ornamen yang tegak ke atas. Ornamen itu disebut "teppang".
Untuk menunjang kegunaan dan fungsinya, rumah boyang dibagi menjadi beberapa bagian ruangan yang disebut dengan lotang. Lotang utama berjumlah tiga, yaitu samboyang, tangnga boyang dan bui boyang. Sedangkan lotang tambahan berjumlah empat, yaitu tapang, paceko, lego-lego dan naong boyang.
Rumah adat Banoa Sibatang
Rumah adat Banoa sibatang (Banoa batang) adalah rumah adat tradisional Kalumpang, kabupaten Mamuju provinsi Sulawesi Barat. Rumah adat ini dihuni oleh suku Kalumpang atau disebut juga suku Galumpang. Rumah adat ini memiliki ciri tersendiri pada bagian atap dan keunikan pada bagian bawahnya. Rumah adat ini diyakini berkaitan langsung dengan nenek moyang Austronesia. Hal ini terlihat dari tiang rumah panggung yang disambungkan dengan lantai rumah memiliki pola berbentuk rakit. Hal ini diyakini sebagai jejak warisan bangsa Austronesia yang dulu bermigrasi dari Pulau Taiwan ke selatan dengan menggunakan rakit. Secara asal usul, tetua-tetua adat di Kalumpang mengakui bahwasanya sebagian besar masyarakat Kalumpang berasal dari Tana Toraja. Sehingga dalam penyebutannya secara umum masyarakat Kalumpang disebut dan menyebut diri mereka sebagai masyarakat Toraja Barat. Hal ini sangat berpengaruh pada bentuk dan konstruksi rumah adat Banoa sibatang, yang sangat mirip dengan rumah ada suku Toraja yang ada di Sulawesi Selatan. Dengan atap bentuk rakit, tiang depan dengan beberapa tanduk kerbau sebagai persembahan ritual memasuki rumah baru.
Sangat menarik untuk mengunjungi daerah Kalumpang karena daerah ini sudah lama menjadi daya tarik Arkeolog untuk meneliti sejarah kehidupan nenek moyang Austronesia. Banyak ditemukan peninggalan-peninggalan nenek moyang yang di yakini sebagai bangsa Austronesia.
Kalumpang berada di Hulu sungai Karama, sungai terpanjang di Sulawesi Barat kecamatan Kalumpang, Mamuju. Kecamatan Kalumpang ini bisa ditempuh 180 km dari kota Mamuju dan 38 km dari pelabuhan Belang-belang, yaitu pelabuhan utama provinsi Sulawesi Barat.
24. Rumah Adat Provinsi Sulawesi Tenggara
Rumah MaligeIstana Sultan Buton (disebut Kamali atau Malige) meskipun didirikan hanya dengan saling mengait, tanpa tali pengikat ataupun paku, dapat berdiri dengan kokoh dan megah di atas sandi yang menjadi landasan dasarnya.
Rumah adat Buton atau Buton merupakan bangunan di atas tiang, dan seluruhnya dari bahan kayu. Bangunannya terdiri dari empat tingkat atau empat lantai. Ruang lantai pertama lebih luas dari lantai kedua. Sedangkan lantai keempat lebih besar dari lantai ketiga, jadi makin ke atas makin kecil atau sempit ruangannya, tetapi di lantai keempat sedikit lebih melebar. Seluruh bangunan tanpa memakai paku dalam pembuatannya, melainkan memakai pasak atau paku kayu. Tiang-tiang depan terdiri dari 5 buah yang berjajar ke belakang sampai delapan deret, hingga jumlah seluruhnya adalah 40 buah tiang. Tiang tengah menjulang ke atas dan merupakan tiang utama disebut Tutumbu yang artinya tumbuh terus. Tiang-tiang ini terbuat dari kayu wala dan semuanya bersegi empat. Untuk rumah rakyat biasa, tiangnya berbentuk bulat. Biasanya tiang-tiang ini puncaknya terpotong. Dengan melihat jumlah tiang sampingnya dapat diketahui siapa atau apa kedudukan si pemilik. Rumah adat yang mempunyai tiang samping 4 buah berarti rumah tersebut terdiri dari 3 petak merupakan rumah rakyat biasa. Rumah adat bertiang samping 6 buah akan mempunyai 5 petak atau ruangan, rumah ini biasanya dimiliki oleh pegawai Sultan atau rumah anggota adat kesultanan Buton. Sedangkan rumah adat yang mempunyai tiang samping 8 buah berarti rumah tersebut mempunyai 7 ruangan dan ini khusus untuk rumah Sultan Buton.
Rumah Banua Tada
Banua Tada adalah rumah adat yang berasal dari Provinsi Sulawesi Tenggara. Banua Tada merupakan rumah tempat tinggal Suku Wolio atau orang Buton di pulau Buton,Kata banua dalam bahasa setempat berarti rumah sedangkan kata tada berarti siku, sehingga banua tada dapat diartikan sebagai "rumah siku". Hal ini karena struktur rangka bangunan terdiri dari siku-siku. Keunikan dari rumah ini terletak pada desain, struktur dan fungsinya yang mengandung nilai filosofis di dalamnya. Keunikan lain dari rumah banua tada adalah memiliki bentuk rumah panggung, tetapi pada pembangunannya tidak menggunakan satupun paku.
Berdasarkan status sosial penghuninya, struktur bangunan rumah banua tada dibedakan menjadi tiga yaitu kamali, banua tada tare pata pale, dan banua tada tare talu pale. Kamali atau disebut juga dengan nama "malige" memiliki arti mahligai atau istana, merupakan tempat tinggal untuk raja atau sultan dan keluarganya. Ukurannya lebih besar dibandingkan dengan jenis banua tada lainnya, mempunyai empat tingkatan lantai dan juga atap yang bersusun dua. Banua tada tare pata pale memiliki arti "rumah siku bertiang empat" adalah rumah tempat tinggal para pejabat atau pegawai istana. Biasanya jenis rumah adat ini bertiang empat, atapnya bersusun, dan juga mempunyai dua jendela di bagian kiri dan kanan rumah. Sementara itu, banua tada tare talu pale atau disebut juga "rumah bertiang tiga" adalah rumah tempat tinggal orang biasa. Jenis rumah adat ini mempunyai jumlah tiang tiga dan pada bagian atapnya simetris. Bahan utama dalam pembuatannya adalah papan kayu, bambu, dan rotan dengan setiap ruangan mempunyai satu buah jendela di bagian kiri atau kanan rumah.
Rumah adat Laika
Rumah Laika adalah rumah tinggal yang berada di kalangan Suku Tolaki. Sulawesi Tenggara. Penduduk Sulawesi Tenggara terdiri dari beberapa suku yaitu Tolaki, Buton (Wolio), Muna, Mekongga, dan Kaba Ena. Pada Pulau Kaba Ena masyarakatnya umumnya beragama Islam. Rumah tinggal yang berada di kalangan Suku Tolaki disebut Laika (Konawe) dan Raha (Mekongga) yang berarti rumah. Secara Universal rumah tinggal dikalangan suku bangsa Tolaki disebut Laika (Konawe) dan Raha (Mekongga). Bangunan ini berukuran luas, besar, dan berbentuk segi empat terbuat dari kayu dengan diberi atap dan berdiri di atas tiang-tiang besar yang tingginya sekitar 20 kaki dari atas tanah. Bangunan ini terletak di sebuah tempat yang terbuka di dalam hutan dengan dikelilingi oleh rumput alang-alang. Pada saat itu bangunan tingginya sekitar 60-70 kaki. Dipergunakan Sebagai tempat bagi raja untuk menyelenggarakan acara-acara yang bersifat seremonial atau upacara adat.
Dilihat secara horizontal bagian depan rumah berbentuk simetris, berkaitan dengan bentuk formil. Sedangkan asimetris terkait dengan dinamis. Makna tersebut terkait dengan sifat orang Tolaki yang dinamis dan formil.Tampak dari depan atau disebut fasad bagian bawah atau rangka dan lantai dianalogikan dengan dada dan perut manusia. Bagian loteng atau bagian atas dianalogikan punggung manusia sedangkan penyangga dianalogikan sebagai tulang punggung manusia. Sedangkan atap adalah rambut atau bulu. Bagian atap dianalogkan muka dan panggul manusia.
25. Rumah Adat Provinsi Sulawesi Tengah
Rumah TambiRumah Tambi adalah rumah adat atau rumah tradisional dari provinsi Sulawesi Tengah, Indonesia. Rumah adat ini berbentuk panggung yang atapnya sekaligus berguna sebagai dinding. Rumah Tambi merupakan rumah bagi suku Kaili dan suku Lore yang umumnya merupakan rumah penduduk setempat serta beberapa wilayah di Sulawesi Tengah menjadikan rumah ini sebagai rumah bagi kepala adat. Yang membedakannya adalah jumlah anak tangga untuk menaiki rumah, di mana rumah Tambi yang digunakan sebagai rumah kepala adat jumlah anak tangganya ganjil, sedangkan untuk penduduk biasa anak tangganya berjumlah genap. Alas rumahnya terdiri dari balok-balok yang disusun, sedangkan pondasinya terdiri dari batu alam. Tangga untuk naik tersebut terbuat dari daun rumbia atau daun bambu yang dibelah dua.
Struktur rumah Tambi adalah berupa rumah panggung dengan tiang penyangga yang pendek dan tingginya tidak lebih dari satu meter. Tiang penyangga ini jumlahnya 9 buah serta saling ditempelkan satu dengan yang lainnya dengan menggunakan pasak balok kayu. Tiang-tiang ini biasanya terbuat dari bahan dasar kayu bonati, yaitu sejenis kayu hutan yang bertekstur kuat dan tidak mudah lapuk. Tiang-tiang tersebut menyangga rangka lantai yang terbuat dari papan sebagai dasar. Papan disusun rapat dan luas lantai rumah Tambi adalah sekitar 5 meter dikali 7 meter.
Untuk ruangannya, rumah Tambi hanya memiliki satu ruangan saja yaitu ruang utama. Meskipun hanya satu ruangan besar tapi memiliki fungsi yang bermacam-macam. Kegiatan sehari-hari mulai dari memasak, tidur, menerima tamu, semuanya dilakukan hanya dalam satu ruangan tersebut. Untuk melengkapinya, diberi dua bangunan tambahan di luar rumah sebagai penunjang kegiatan lainnya yang tidak bisa langsung dilakukan di rumah utama, yaitu Pointua dan Buho atau Gampiri. Pointua adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat penumbuk padi, yang di dalamnya terdapat sebuah lesung panjang bernama Iso dengan jumlah 4 tiang. Sementara Buho adalah bangunan yang mirip dengan rumah Tambi utama namun memiliki dua lantai. Lantai bawah berfungsi sebagai tempat untuk menerima tamu, sementara lantai atas berfungsi sebagai lumbung padi, sebelum dibawa ke Pointua untuk ditumbuk dan diproses lebih lanjut.
Bagian atap rumah tambi berbentuk prisma dengan sudut kecil pada bagian paling atas sehingga terlihat tinggi dan dapat menaungi rumah secara keseluruhan. Atapnya terbuat dari ijuk atau daun rumbia yang memanjang ke bawah sekaligus berfungsi sebagai dinding luar rumah.
Jika ingin membangun rumah Tambi, syarat utama yang harus dipenuhi adalah rumah menghadap kearah utara-selatan, sehingga tidak boleh menghadap maupun membelakangi posisi matahari terbit dan terbenam jika anda sekilas melihat bentuk atau konstruksi rumahnya maka bentuknya seperti jamur dengan prisma yang terbuat dari daun rumbia serta ijuk seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
Rumah Souraja
Souraja atau disebut juga Banua Oge adalah rumah adat atau rumah tradisional Indonesia yang berasal dari Kelurahan Lere, Kecamatan Palu Barat, Provinsi Sulawesi Tengah. Rumah adat ini dibangun pada abad ke-19 masehi atas prakarsa Raja Yodjokodi dan berfungsi sebagai tempat tinggal keluarga raja dan juga sebagai pusat pemerintahan kerajaan.
Rumah Adat Lobo
Lobo merupakan nama rumah adat yang berada di Desa Toro, Kecamatan Kulawi, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Berukuran 5x4 meter dengan tinggi dinding 1 meter, sedangkan selebihnya ke atas terbuka.
Secara umum bangunan ini tidak menggunakan paku sebagai penyambungnya. Secara struktur, bangunan ini seperti dengan bangunan tradisional kayu pada umumnya, yaitu memiliki tiga komponen anatomi bangunan. Yaitu Upper Structure (Struktur Atas), Super Structure (Struktur Tengah), Sub Structure (Struktur Bawah). Struktur atas terdiri atas Atap bangunan terbuat dari atap sirap kayu dan bagian puncaknya dari daun aren dan ijuk.Atap sirap tersebut disanggah dengan kontruksi rangka atap yang terbuat dari kayu langka (Pandan Hutan) yang diraut tipis dan dipasang melintang.Kemudian ditopang oleh kuda-kuda.
Lobo, yang khas Kulawi (merangkum daerah Pipikoro, Gimpu, Lindu) berfungsi sebagai balai rapat tetua adat, sidang adat, upacara, perayaan panen, dan rapat penentuan kapan membuka ladang. Lobo juga berfungsi sebagai rumah singgah jika ada warga desa lain yang kemalaman di Porelea, bisa bermalam di Lobo. Satu desa punya satu Lobo.
26. Rumah Adat Provinsi Gorontalo
Rumah DulohupaDulohupa adalah rumah adat atau rumah tradisional Indonesia yang berasal dari Kelurahan Limba, Kecamatan Kota Selatan, Kota Gorontalo, Provinsi Sulawesi Utara. Penduduk Gorontalo menyebut Dulohupa dengan nama Yiladia Dulohupa Lo Ulipu Hulondhalo. Dulohupa memiliki bentuk rumah panggung dengan badan terbuat dari papan dan struktur atapnya bernuansa daerah Gorontalo. Sebagai lambang dari rumah adat Gorontalo, Dulohupa memiliki hiasan berupa pilar-pilar kayu, sedangkan sebagai simbol tangga adat atau yang disebut juga dengan Tolitihu, Dulohupa memiliki dua buah tangga yang masing-masing berada di sebelah kanan dan kiri rumah. Saat ini, Dulohupa dilengkapi dengan taman bunga, bangunan tempat penjualan cendera mata, serta bangunan yang menyimpan kereta kerajaan yang disebut dengan Talanggeda.
Rumah adat Dulohupa memiliki model rumah panggung yang masing-masing bagiannya menggambarkan badan manusia. Atap rumah menggambarkan kepala, badan rumah menggambarkan badan, serta pilar kayu penyangga rumah menggambarkan kaki. Selain menggambarkan badan manusia, model rumah panggung dipilih untuk menghindari banjir yang sering terjadi di kala pembangunan rumah adat ini. Rumah adat Dulohupa juga disebut sebagai sebuah representasi kebudayaan masyarakat Gorontalo. Sebagai salah satu dari banyak rumah adat yang memiliki makna sejarah, rumah adat Dulohupa merepresentasikan sebuah komunitas pada zamannya dan juga menggambarkan kemajuan sebuah peradaban. Hal ini bisa dikupas dari bagian-bagian rumah secara detail beserta makna yang mengandung prinsip-prinsip dan kebudayaan yang mendasarinya.
Rumah Adat Bantayo Poboide
Bantayo Poboide dari namanya terdiri atas kata "bantayo" yang berarti bangsal, balai; dan "poboide" yang berarti berbicara. Bantayo Poboide dapat diartikan sebagai bangunan sebuah rumah gedung atau balai tempat berkumpul dan bermusyawarah. Akan tetapi di pihak lain, Bantayo Poboide dapat berarti organisasi pemerintahan yang berbentuk dewan yang sering juga disebut sebagai dewan kerajaan. Jadi Bantayo Poboide merupakan bangsal atau balai untuk membicarakan berbagai persoalan tentang negeri yang terorganisir, kedudukannya di atas Maharaja, mempunyai kekuatan hukum, berdiri sendiri (independent), tidak terkait dengan politik, semata-mata bekerja untuk kesejahteraan negeri, dan membangun moralitas pemimpin dan rakyat negeri sesuai adat dan syarak (hukum yang bersendi ajaran Islam).
Selain itu provinsi Gorontalo juga masih memiliki rumah adat bernama Gobel yang berlokasi di Kecamatan Tapa, Kabupaten Bone Bolango.
27. Rumah Adat Provinsi Sulawesi Utara
Rumah PewarisRumah Pewaris atau Walewangko adalah rumah adat daerah Minahasa, Provinsi Sulawesi Utara. Minahasa dahulu dikenal dengan nama Tanah Malesung yang merupakan daerah Semenanjung tempat persinggahan Bangsa Portugis dan Spanyol. Oleh karena tanahnya yang subur, Bangsa Portugis dan Spanyol tertarik dengan daerah tersebut. Sementara itu, raja pertama Manado adalah keturunan Bangsa Spanyol, yaitu Muntu Untu. Dari raja pertama inilah diyakini masyarakat Minahasa mengenal rumah adat. Pada masa pemerintahan raja pertama ini, sentuhan teknologi sederhana mulai dikenal, misalnya beberapa alat pertukangan mulai masuk dan dikenal masyarakat. Pada bentuk fisik rumah adat yang dua tiang penyangganya tidak boleh disambung. Jadi, sudah dapat dibayangkan bahwa masyarakat kala itu, ketika mengambil kayu sebagai bahan rumah adat, sudah menggunakan perkakas pertukangan.
Rumah Pewaris juga dijadikan sebagai tempat penyimpanan hasil panen warga setempat. Rumah tersebut bentuknya adalah rumah panggung. Pembuatan rumah panggung pada zaman dahulu bertujuan menghindari serangan musuh dan binatang buas. Rumah pewaris memiliki 26 tiang penyangga yang menggunakan bahan kayu pada lantai dasar dan lantai 1 menggunakan bahan kayu dan beton.
Rumah Bolaang Mongondow Rumah Bolaang Mongondow merupakan rumah adat tradisional dari suku Bolaang Mongondow atau juga biasa disebut suku Bolmong yang nama tempat asalnya pun sama dengan nama suku itu sendiri yaitu Kabupaten Bolaang Mongondow yang terletak di sebelah barat provinsi Sulawesi Utara. Mirip seperti Rumah Pewaris, Rumah Bolaang Mongondow juga sama-sama mengadopsi rumah panggung yang sebagian besar terbuat dari kayu jati. Bentuk dari Rumah Bolaang Mongondow ini adalah bangunan rumah berupa rumah panggung dengan atap melintang memanjang ke belakang yang terbuat dari bahan ijuk dengan sebuah tangga di bagian depan rumah. Tinggi Rumah Bolmung umumnya sekitar satu setengah meter sampai dua meter dengan sebuah serambi muka yang dikenal sebagai Dungkolon. Sepanjang tahun 1957 sampai 1959 Rumah Bolaang Mongondow banyak dibakar karena kesalahpahaman yang terjadi pada peristiwa yang disebut Perjuangan Semesta atau dalam sejarah disebut sebagai Permesta.
Rumah Adat Woloan Rumah Adat Woloan merupakan bangunan pemukiman tradisional yang berasal dari Tomohon, Provinsi Sulawesi Utara. Bangunan pemukiman ini berbentuk panggung dan telah dikenal sebagai bangunan tahan gempa. Bentuk yang estetis dan tahan dari guncangan gempa membuat produksi rumah tradisional ini menjadi komoditas ekspor ke negara Argentina dan Venezuela.
Rumah Woloan terbuat dari kayu namun dapat di bongkar pasang. Nama woloan adalah sebuah desa yang berada di wilayah Tomohon Tengah, Sulawesi Utara. Di daerah yang berhawa sejuk ini berkembang home industry yaitu pembuatan rumah panggung tradisional khas Minahasa yang lebih dikenal dengan rumah woloan. Namun seiring perkembangan jaman struktur bangunan rumah woloan ini sudah agak berubah menjadi tipe rumah modern, namun tetap mempertahankan karakter khas rumah adat Minahasa.
Rumah woloan ini mempunyai ciri khas yaitu rata – rata tinggi rumah mencapai tiga meter serta dilengkapi dengan dua buah tangga besar didepan. Dengan disain yang unik, rumah woloan bukan hanya mampu menembus pasaran dalam negeri saja namun juga mancanegara. Sistem rakitan dari bahan kayu merupakan salah satu keunggulan rumah ini.
Bahan baku untuk pembuatan rumah woloan ini menggunakan tiga buah jenis kayu, yaitu kayu besi, kayu natoh serta kayu cempaka. Untuk pembuatan dinding rumah digunakan kayu cempaka, untuk membuat plafon serta lantai rumah dipakai kayu natoh sedangkan untuk rangka rumah menggunakan kayu besi. Kayu – kayu tersebut biasanya diambil dari daerah Bolaang Mongondow serta Gorontalo.Pembuatan satu rumah woloan diperlukan waktu sekitar dua bulan. Konon rumah woloan tersebut dapat bertahan hingga puluhan tahun.
28. Rumah Adat Provinsi Bali
Rumah Gapura Candi BentarRumah Gapura Candi Bentar sejatinya merujuk pada bangunan gapura yang menjadi gerbang rumah-rumah adat Bali. Gapura tersebut terdiri dari dua buah candi yang serupa dan sebangun dan membatasi sisi kiri dan sisi kanan pintu masuk ke pekarangan rumah. Gapura-gapura tersebut tidak memiliki atap penghubung pada bagian atasnya sehingga kedua sisinya terpisah sempurna, dan hanya terhubung di baagian dalam olehk-anak tangga yang menjadi jalan masuk. Gapura Candi Bentar dalam arsitektur Bali merupakan sebuah perwujudan bangunan yang berfungsi untuk masuk-keluar dari satu sisi ke sisi lainnya (dari luar ke dalam dan atau sebaliknya). Pada awalnya ketika arsitektur Bali masih sesuai dengan keadaan pada masa kerajaan, Gapura Candi Bentar hanya dibangun di lingkungan Puri (Istana Raja) dan Pura (tempat suci agama Hindu). Tidak ditemukan adanya Candi Bentar di perumahan masyarakat kebanyakan.
Bentuknya merupakan gapura, atau candi yang terbelah dua tepat di tengah-tengahnya sehingga menjadi bentukan yang simetri. Baik di puri mau pun di pura, Candi Bentarmenempati posisi di areal paling luar, menjadi pembuka jalansekaligus penerimabagi mereka yang akan mengunjungitempat tersebut. Para Undagi yang mengerjaakan bangunan ini sudah memiliki kepekaan yang tinggi terhadap lingkungannya, sehingga hasil yang dicapai sesuai dengan peruntukannya.Undagi memahami betul, di mana dan kapan Candi Bentar harus tampil megah, tampil normal (akrab), kokoh dan sebagainya.
Di Pura yang merupakan Kahyangan Jagat seperti Pura Ulun Danu Batur (di Kintamani, Bangli), atau di Pura Besakih (Karangasem), tampak bahwa Gapura Candi Bentar berdiri kokoh, besar, tinggi atau dengan kata lain: megah. Areal Pura yang luas dan topografi yang tidak rata (rendah di arah luar, dan meninggi menuju ke areal Pura yang lebih di dalam), ikut mendukung kemegahan yang terwujud. Dalam teori modern, para undagi telah memperhitungkan dan menerapakan beberapa aspek estetika, dalam hal ini skala dan proporsi.
Bagi masyarakat Bali, rumah merupakan keseluruhan bangunan dalam pekarangan yang pada umumnya dikelilingi oleh tembok (panyengker). Berikut ini adalah bagian-bagian dan fungsi tiap ruangan yang ada di Rumah Gapura Candi Bentar.
- Sanggah atau pamerajan merupakan tempat suci bagi keluarga.
- Panginjeng karang merupakan tempat memuja roh yang menjaga pekarangan.
- Bale manten yaitu tempat tidur kepala keluarga, anak gadis, dan sebagai tempat penyimpanan barang berharga. Ada kalanya digunakan sebagai kamar pengantin baru.
- Bale gede / bale adat adalah tempat upacara lingkaran hidup yang dalam kehidupan sehari-hari digunakan sebagai bale serbaguna.
- Bale dauh merupakan tempat kerja, pertemuan, dan tempat tidur anak laki-laki.
- Paon atau dapur adalah tempat memasak dan berfungsi sebagai lumbung (tempat menyimpan padi dan hasil bumi).
Rumah Adat Bali dibangun dengan aturan yang disebut Asta Kosala Kosali yang mengatur tentang tata peletakan rumah, aturan ini mungkin hamper sama dengan aturan Feng Shui dari Cina. Pembangunan rumah Adat Bali harus memiliki tiga asppek yang biasa disebut dengan “Tri Hita Karana”yakni filosofi yang mengatur tata hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dan manusia, serta manusia dengan alam. Kednamisan dalam hidup akan tercapai apabila terwujudnya hubungan yang harmonis antara aspek pawongan (penghuni rumah), palemahan (lingkungan dari tempat rumah itu berada), dan parahyangan.
Umumnya sudut utara dan sudut timur adalah tempat yang lebih disucikan sehingga di sana ditempatkan ruang-ruang yang lebih suci, sedangkan ruang barat dan sudut selatan merupakan sudut yang lebih rendah derajat kesuciannya. Biasanya sudut-sudut tersebut merupakan arah masuk ke dalam rumah atau untu bangunan lainnya seperti kamar mandi.
Ruang luar di sekitar tempat berdirinya Gapura Candi Bentar ini memiliki berbagai fungsi. Salah satu di antaranya adalah menyiapkan ruang terbuka hijau. Keadaan ini akan mampu untuk menjaga keseimbangan kawasan antara yang terbangun dan terbuka, sehingga udara segar yang sangat dibutuhkanakan selalu dapat terjaga dan tersedia dengan baik.Ketersediaan ruang terbuka ini juga menjadi lebih bermanfaat dengan penanganan pertamanan yang penuh perhitungan. Vegetasi yang tersebar dan tumbuh subur, tidak hanya menyehatkan pandangan mata dan menghembuskan udara segar, tetapi juga memberikan niilai estetika secara keseluruhan. Perpaduan antara tanaman mulai dari rumput yang rata tanah, perdu yang lebih tinggi dan pohon-pohon perindang, semua itu menjadi bentukan komposisi lanskap yang estetis.
Ruang luar di sekitar Candi Bentarjuga berfungsi sebagai prasarana transportasi.Mobilitas pengunjung dengan berbagai moda transportasitidak mengurangi kesempatan orang uuntuk tetap dapat melihat kemegahan Candi Bentar. Tentu saja yang paling leluasa menikmatinya adalah mereka yang berjalan kaki. Trotoar yang lebar, diselingi dengan lampu-lampu penerangaan dan patung-patung serta tanaman pohon bunga, semuanya menambah nyamannya para pejalan kaki di sepanjang jalan, termasuk kesempatan untuk memandang Candi Bentarmenjadi lebih leluasa.
29. Rumah Adat Provinsi NTB
Rumah Adat Dalam LokaRumah Adat Dalam Loka adalah kediaman raja-raja yang berasal dari Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Rumah dalam Loka atau istana Sumbawa ini merupakan peninggalan sejarah dari kerajaan Sumbawa. Istana Dalam Loka dibangun pada tahun 1885 oleh Sultan Muhammad Jalalludin III (1983-1931).
Rumah adat Dalam Loka merupakan desain asli rumah kediaman raja-raja Sumbawa. Kuatnya pengaruh budaya Islam yang masuk di wilayah ini pada masa itu telah membuat hampir seluruh aspek adat dan kesukuan masyarakat Sumbawa larut dalam nilai-nilai syariah Islam.
Rumah Adat Dalam Loka berbentuk rumah panggung dengan luas bangunan 904 M2. Istana Dalam Loka terlihat sangat megah. Istana yang dibangun dengan bahan kayu ini memiliki filosofi "adat berenti ko syara, syara barenti ko kitabullah", yang berarti semua aturan adat istiadat maupun nilai-nilai dalam sendi kehidupan tau Samawa (masyarakat Sumbawa) harus bersemangatkan pada syariat Islam.
Rumah adat Limbungan
Rumah adat Limbungan atau Bale Sasak Limbungan adalah rumah adat tradisional yang terdapat pada permukiman Suku Sasak di Dusun Limbungan, Desa Perigi, Kecamatan Suela, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Rumah adat ini dicirikan dengan penggunaan bahan-bahan yang bersumber dari alam. Konstruksinya menggunakan kayu pada bagian tiang, dinding dengan anyaman bambu, dan alang-alang sebagai atap. Bahan-bahan alami yang digunakan pada rumah adat Limbungan, baik atap, tiang, maupun dinding menjadikan konstruksi rumah ringan dan lentur yang tahan terhadap guncangan. Ratusan rumah adat di Limbungan masih berdiri kokoh walaupun diguncang serangkaian gempa pada Juli hingga Agustus 2018.
Uma Lengge
Uma Lengge merupakan bangunan tradisional suku Mbojo yang berada di Kecamatan Wawo Kabupaten Bima. bangunan tersebut berbentuk kerucut. Pada zaman dahulu, Uma Lengge digunakan sebagai tempat tinggal oleh masyarakat Wawo dan sebagian digunakan juga sebagai lumbung.
Bangunan yang mirip rumah ini sudah ada sejak ratusan bahkan ribuan tahun silam. Walau terlihat sederhana, bangunan ini pasti membutuhkan artistik yang unik dan harus ada keahlian khusus untuk membuatnya, semua bahan bangunannya berupa kayu dan bambu serta rumbia atau ilalang sebagai bahan atap dan dindingnya.
30. Rumah Adat Provinsi NTT
Mbaru NiangMbaru Niang adalah rumah adat dari wilayah Pulau Flores, Indonesia. Rumah adat Mbaru Niang berbentuk kerucut dan memiliki lima lantai dengan tinggi sekitar 15 meter. Rumah adat Mbaru niang dinilai sangat langka karena hanya terdapat di kampung adat Wae Rebo yang terpencil di atas pegunungan. Usaha untuk mengkonservasi Mbaru Niang telah mendapatkan penghargaan tertinggi kategori konservasi warisan budaya dari UNESCO Asia-Pasifik tahun 2012 dan menjadi salah satu kandidat peraih Penghargaan Aga Khan untuk Arsitektur tahun 2013.
Mbaru Niang berbentuk kerucut dengan atap yang hampir menyentuh tanah. Atap yang digunakan rumah adat Mbaru Niang ini menggunakan daun lontar. Mirip rumah adat "honai" di Papua, Mbaru Niang adalah rumah dengan struktur cukup tinggi, berbentuk kerucut yang keseluruhannya ditutup ijuk. Mbaru Niang memiliki 5 tingkat dan terbuat dari kayu worok dan bambu serta dibangun tanpa paku. Tali rotan yang kuatlah yang mengikat konstruksi bangunan. Setiap mbaru niang dihuni enam sampai delapan keluarga.
Setiap lantai rumah Mbaru Niang memiliki ruangan dengan fungsi yang berbeda beda yaitu:
- tingkat pertama disebut lutur digunakan sebagai tempat tinggal dan berkumpul dengan keluarga
- tingkat kedua berupa loteng atau disebut lobo berfungsi untuk menyimpan bahan makanan dan barang-barang sehari-hari
- tingkat ketiga disebut lentar untuk menyimpan benih-benih tanaman pangan, seperti benih jagung, padi, dan kacang-kacangan
- tingkat keempat disebut lempa rae disediakan untuk stok pangan apabila terjadi kekeringan,
- tingkat kelima disebut hekang kode untuk tempat sesajian persembahan kepada leluhur.
Rumah Musalaki
Rumah Musalaki adalah rumah adat atau rumah tradisional yang banyak dijumpai di provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Rumah ini sendiri menjadi lambang dari provinsi Nusa Tenggara Timur. Rumah adat ini sendiri merupakan tempat tinggal khusus bagi kepala suku dari beberapa suku di provinsi Nusa Tenggara Timur. Karena sudah menjadi lambang dari provinsi, saat ini desain bangunan pemerintahan seperti kelurahan, kecamatan, hingga kabupaten di Nusa Tenggara Timur mayoritas mengadopsi konsep dari rumah Musalaki, serta di beberapa wilayah rumah ini sudah dihuni oleh masyarakat pada umumnya.
Rumah Musalaki aslinya merupakan rumah adat dari masyarakat suku Ende Lio, karena nama Musalaki sendiri diambil dari kata dalam bahasa Ende Lio yaitu mosa yang berarti ketua dan laki yang berarti adat, yang jika digabungkan artinya adalah "ketua adat" atau "kepala suku", jadi rumah Musalaki adalah rumah yang menjadi tempat tinggal bagi tetua atau kepala suku dalam masyarakat suku Ende Lio. Rumah Adat Musalaki mempunyai bentuk persegi empat dengan atap yang menjulang tinggi sebagai simbol kesatuan dengan sang pencipta. Bentuk atap tersebut diyakini menyerupai layar perahu sebagaimana cerita dalam masyarakat setempat mengenai nenek moyang dari Suku Ende Lio yang sudah terbiasa menggunakan perahu. Pada bagian atas atap terdapat dua ornamen yang memiliki simbol yaitu kolo Musalaki (kepala rumah keda) dan kolo ria (kepala rumah besar) di mana diyakini kedua bangunan memiliki hubungan spiritual.
Sesuai dengan namanya, fungsi utama dari rumah Musalaki adalah sebagai tempat tinggal bagi ketua adat atau kepala suku, khususnya bagi suku Ende Lio. Selain berfungsi sebagai rumah tinggal kepala suku, rumah adat ini juga sering digunakan sebagai tempat ritual upacara adat, kegiatan musyawarah adat, dan berbagai macam kegiatan adat lainnya.
Rumah adat Lewokluok
Rumah adat Lewokluok atau disebut Korkē adalah rumah adat yang terdapat di Desa Lewokluok, Kecamatan Demon Pagong, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Bentuknya berupa rumah panggung yang tidak berdinding dan ditopang oleh sejumlah tiang. Letaknya berada di tengah permukiman suku-suku yang ada di Demon Pagong.
Rumah adat ini memiliki fungsi sebagai tempat berkumpulnya tetua adat dalam melaksanakan upacara ritual serta melaksanakan pertemuan untuk merencanakan seluruh rangkaian kegiatan di masyarakat seperti upacara membersihkan dan memperbaiki rumah. Selain itu, rumah adat ini menjadi tempat pemujaan atau sejenis kuil. Masyarakat adat Demon Pagong memiliki kepercayaan terhadap dewa langit dan dewa bumi yang melindungi mereka yang dengan sebutan "Rera Wula Tana Ekan". Rumah adat ini dianggap sebagai bangunan sakral oleh masyarakat adat sekaligus identitas suku-suku yang ada di Demon Pagong.
Rumah adat Ngada
Rumah adat Ngada atau Sa'o adalah rumah adat tradisional yang banyak dijumpai di Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Bentuknya berupa rumah panggung dan hampir seluruh material bangunannya terbuat dari kayu. Rumah adat ini terdapat pada permukiman Suku Ngada yang tersebar di beberapa kampung adat, seperti Kampung Adat Bela, Kampung Adat Bena, Kampung Adat Gurusina, dan Kampung Adat Tololela.
Rumah adat ini berfungsi sebagai tempat tinggal sekaligus sebagai pusat kegiatan adat istiadat.
Rumah adat Ume Kbubu
Ume Kbubu merupakan bangunan tradisional berbentuk bundar yang menjadi rumah tempat tinggal bagi suku Dawan di Nusa Tenggara Timur. Istilah Ume Tua terdiri dari dua kata yakni Ume yang berarti rumah dan Kbubu yang memiliki arti bundar. Sejak tahun 2010, Ume Kbubu yang menjadi bagian dari arsitektur tradisional Nusa Tenggara Timur telah dimasukkan ke dalam pencatatan Warisan Budaya Takbenda oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan nomor registrasi 2010000034.
Secara umum, Ume Kbubu memiliki sejumlah struktur bangunan yang terdiri atas atap, dinding, tiang peyangga, dll. Ume Kbubu yang berbentuk bundar menjadikan struktur atapnya menjadi berbentuk kerucut. Diameternya sekitar 3 hingga 5 meter.[4] Atap Ume Kbubu biasanya ditutup dengan alang-alang. Atap Ume Kbubu memilki peranan penting karena bentuknya yang menonjol.
Rumah adat Sumba
Rumah adat Sumba (bahasa Sumba: uma mbatangu, "rumah berpuncak") mengacu pada rumah adat vernakular Suku Sumba dari pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Rumah adat Sumba memiliki dengan puncak yang tinggi pada atap dan hubungan kuat dengan roh-roh atau marapu.
Pulau Sumba dihuni oleh beberapa kelompok budaya dan bahasa, namun semua memiliki adat arsitektur yang sama. Animisme sangat kuat dalam masyarakat Sumba. Adat agama difokuskan pada marapu. Marapu mencakup roh-roh orang meninggal, dari tempat-tempat suci, benda-benda pusaka dan instrumen yang digunakan untuk berkomunikasi dengan dunia roh. Konsep ini mempengaruhi arsitektur ruang dalam rumah adat Sumba. Terdapat dua rumah utama bagi orang Sumba. Rumah yang paling khas adalah uma mbatangu ("rumah berpuncak") dari Sumba Timur yang memiliki puncak tinggi di bagian tengah. Atap ini terbuat dari jerami, alang-alang dan agak mirip dengan puncak tengah pada rumah adat Jawa joglo. Rumah dengan pumcak paling besar dikenal sebagai uma bungguru. Rumah ini adalah rumah utama klan dan menjadi tempat penting untuk ritual yang berkaitan dengan persatuan dan kesatuan klan, misalnya upacara pernikahan, pemakaman, dan sebagainya. Rumah besar juga merupakan rumah tinggal permanen bagi orang tertua di desa. Jenis lainnya adalah rumah uma kamadungu ("rumah botak") yang tidak memiliki puncak tengah.
Rumah adat Sumba biasa memiliki tata letak berbentuk persegi. Empat tiang utama penopang atap puncak dari rumah ini, memiliki simbolisme mistis. Sebuah rumah adat Sumba dapat menampung satu hingga beberapa keluarga. Dua pintu masuk diposisikan di kiri dan kanan rumah. Tidak ada jendela di rumah adat Sumba, ventilasi udara melalui lubang kecil di dinding, yang terbuat dari anyaman dahan sawit atau selubung pinang. Tanduk kerbau sering digunakan sebagai penghias dinding sebagai pengingat pengorbanan masa lalu.
Rumah Koke Bale Koke Bale atau Korke merupakan rumah adat suku Lamaholot di Nusa Tenggara Timur. Istilah Koke Bale sendiri terdiri atas dua kata yakni koke atau boke yang memiliki arti titik pusat dan bale yang berarti tempat tinggal atau rumah. Sehingga, Koke Bale dapat bermakna rumah induk, rumah asal, atau rumah leluhur.
Koke Bale merupakan satu dari tiga bagian penting dalam kepercayaan masyarakat Lamaholot. Adapun tiga unsur penting terserbut adalah koke bale, nama atau namang, dan nabanara atau nubanara. Dalam proses pembangunannya, ketiga unsur tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.
Koke Bale umumnya berbentuk panggung. Di dalam Koke Bale terdapat sebuah tiang suci yang disebut rie lima lanang. Tiang tersebut merupakan lambang dari Rera Wulan Tana Ekan atau Yang Maha Kuasa. Selain itu, Koke Bale dilengkapi dengan berbagai macam benda purbakala dan peninggalan leluhur yang diyakini memiliki kekuatan gaib oleh masyarakat Lamaholot. Di halaman depan Koke Bale terdapat sebuah pelataran yang memiliki ukuran 500-1.000 meter persegi. Pelataran tersebut digunakan oleh masyarakat sebagai tempat untuk menampilkan pertunjukkan tradisional khas Lamaholot, seperti tarian hedung, hamang, dolo-dolo, uah, tandak, dan pencak silat tradisional. Pelataran ini juga digunakan sebagai tempat persembahan. Adapun pelataran tersebut disebut sebagai Nama atau namang.
Di tengah-tengah pelataran atau Nama terdapat sebuah batu kecil berbentuk bundar yang disebut Nubanara. Nubanara atau Naba nara merupakan bangunan megalitik yang memilki fungsi sebagai tempat persembahan kepada Yang Maha Kuasa. Selain itu, di halaman Koke Bale terdapat sebuah menhir yang diletakkan di atas bangunan pagar batu.
Rumah Lopo Lopo adalah rumah adat yang terdapat di daerah Nusa Tenggara Timur. Rumah ini menjadi salah satu rumah adat dari suku Abui yang berada di Kabupaten Alor. Rumah Lopo juga dianggap sebagai sebagai rumah serbaguna karena rumah ini memiliki banyak kegunaan.
Rumah Lopo terbuat dari bambu dan alang-alang. Bambu digunakan sebagai lantai dari rumah Lopo, sedangkan alang-alang sebagai atap dari rumah lopo. Rumah Lopo berbentuk seperti piramida. Rumah ini ditopang oleh beberapa tiang penyangga yang terbuat dari kayu. Rumah lopo tidak memiliki dinding. Rumah Lopo memiliki ruangan dengan tiga tingkat. Setiap tingkat memiliki fungsinya masing-masing. Tingkat dasar berfungsi sebagai ruang istirahat sekaligus dapur. Tingkat dua berfungsi sebagai tempat penyimpanan bahan makanan. Tingkat paling atas berfungsi sebagai gudang yang dapat digunakan apabila persediaan makanan terlalu banyak di tingkat dua. Rumah Lopo terbagi atas dua jenis yaitu rumah Kolwat dan rumah Kanuruat. Anak-anak dan perempuan dimungkinkan untuk masuk ke dalam rumah Kolwat, sedang rumah Kanuruat hanya bisa dimasuki oleh kalangan tertentu saja.
Rumah adat Sao asa mosa lakitana Rumah adat Sao asa mosa lakitana adalah rumah adat dari provinsi Nusa Tenggara Timur.
Dalam seni bangunan yang mempunyai fungsi religius adalah rumah adat yang umumnya berupa rumah panggung dan berbentuk agak segi empat atau segi empat panjang, kecuali rumah asli Timor yang mempunyai bentuk bulat telur tanpa tiang. Di daerah ini bangunan dibedakan dalam 3 bentuk yang didasarkan pada model atapnya, yakni bentuk atap berjoglo yang merupakan rumah adat suku bangsa Sumba, bentuk atap atap kerucut bulat, merupakan rumah adat suku bangsa Timor dan bentuk atap seperti perahu terbalik, merupakan rumah adapt suku bangsa Rote. Dari bentuk atap yang berbeda, tetapi dalam rumah ini tetap terdapat suatu tempat suci untuk arwah nenek moyang yang selalu diberi sesaji pada sat-saat tertentu. Masyarakat suku bangsa Sabu yang merupakan pelaut ulung membangu rumahnya menyerupai perahu yang erat hubungannya dengan kebudayaan serta kehidupan sehari-harinya. Misalnya atapnya berbentuk perahu terbalik menandakan, masyarakat daerah ini mengenal perahu dan lau sebagai alamnya. Hampir seluruh bagian rumah diberi nama bagian-bagian perahu seperti haluan, anjungan (duru), dan burian (wui). Duru merupakan bagian yang diperuntukkan bagi kaum laki-laki, sedangkan Wui bagian yang diperuntukkan bagi kaum perempuan. Di perkampungan suku bangsa Sabu, berdasarkan bentuk rumah adatnya dibedakan menjadi 2 yaitu antara ‘amu kelaga’ atau rumah adat yang berpanggung dan ‘ammu laburai’, rumah yang berdinding tanah. Ammu kelaga merupakan bentuk rumah Sabu asli yang mempunyai lantai panggung difungsikan sebagai balai-balai dan disebut sebagai "kelaga". Bangunan ini mempunyai bentuk 4 persegi panjang dengan atap lancip mirip perahu terbalik. Tiangnya berbentuk bulat terbuat dari kayu pohon lontar, enau, kayu hitam atau kayu besi. Lantai panggungnya bertingkat 3, yakni kelaga rai, atau panggung tanah, kelaga ae atau panggung besar, kelega dammu atau panggung loteng yang mencerminkan kepercayaan orang Sabu adanya tingkatan dunia, yakni dunia bawah atau dunia arwah, dunian tengah atau dunia manusia dan dunia atas atau dunia para dewa.
Rumah Adat Temukung Rumah Adat Temukung adalah rumah tradisional yang dari Nusa Tenggara Timur. Rumah adat ini merupakan rumah adat bagi beberapa suku besar di Nusa Tenggara Timur, seperti Flores, Sabu, Sumba, dan Alor. Rumah ini pun menjadi bangunan utama, sekaligus ikon anjungan Nusa Tenggara Timur di Taman Mini Indonesia Indah.
Rumah Adat Temukung berbentuk empat persegi panjang, atapnya mirip dengan bentuk perahu terbalik, mempunyai panggung atau dek. Bagi masyarakat Sabu konstruksi Rumah Adat Temukung berorientasi pada latar belakang asal usul Suku Sabu, oleh karena itu bentuk dan corak rumah orang-orang dari Sabu mempunyai hubungan dengan filsafat hidup mereka. Misalkan, lokasi mendirikan rumah biasanya di tempat yang tinggi (bukit, lereng), haluan rumah selalu mengarah ke barat atau timur (dalam bahasa Sabu disebut duru wa dan duru dimu).
31. Rumah Adat Provinsi Maluku
Rumah BaileoRumah Baileo adalah rumah adat Maluku dan Maluku Utara, Indonesia. Rumah Baileo merupakan representasi kebudayaan Maluku dan memiliki fungsi yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat. Rumah Baileo adalah identitas setiap negeri di Maluku selain Masjid atau Gereja. Baileo berfungsi sebagai tempat penyimpanan benda-benda suci, tempat upacara adat, sekaligus sebagai balai warga. Ciri utama rumah Baileo adalah ukurannya besar, dan memiliki bentuk yang berbeda jika dibandingkan dengan rumah-rumah lain di sekitarnya.
Bentuk ornamen atau hiasan di rumah adat Beileo memiliki hubungan dengan adat istiadat dan kehidupan sehari-hari masyarakat Maluku. Negeri-negeri di Maluku memiliki arsitektur Baileo yang berbeda, namun fungsinya sama. Baileo dibuat dengan bahan yang kuat, dan dilengkapi dengan ornamen khas Maluku. Rumah Baileo tak berdinding, hal ini dimaksudkan agar roh nenek moyang dapat leluasa masuk dan keluar rumah Baileo. Rumah Baileo merupakan rumah panggung, yakni posisi lantainya berada di atas permukaan tanah. Lantai yang tinggi ini mempunyai makna bahwa agar roh-roh nenek moyang memilii tempat dan derajat yang tinggi dibandingkan masyarakat. Di rumah adat Baileo terdapat banyak ukiran dan ornamen yang bergambar dua ekor ayam yang berhadapan dan diapit oleh dua ekor anjing di sebelah kiri dan kanan. Ukiran tersebut memiliki makna kedamaian dan kemakmuran. Ukiran tersebut dibuat dengan maksud roh nenek moyang yang menjaga kehidupan masyarakat. Ukiran lainnya adalah bulan, bintang, dan matahari yang berada di atap dengan warna merah, kuning, dan hitam. Ukiran tersebut bermakna kesiapan Baileo (sebagai balai) dalam menjaga keutuhan adat beserta hukum adatnya.
32. Rumah Adat Provinsi Maluku Utara
Rumah adat SasaduSasadu merupakan rumah adat suku bangsa Sahu di Halmahera Barat yang juga merupakan suku bangsa asli dan tertua yang ada di daerah tersebut. Di rumah ini, masyarakat adat Sahu biasa berkumpul dalam pertemuan-pertemuan. Di Halmahera Barat, rumah ini lazim ditemui di setiap desa. Penggunaan Sasadu sebagai lokasi pertemuan masyarakat biasanya terkait dengan diselenggarakannya berbagai acara, misalnya ritual atau upacara adat seperti perayaan panen dan pemilihan ketua adat, dan menyambut tamu yang datang. Meski demikian dapat pula Sasadu digunakan hanya untuk sekadar bersantai tanpa ada acara khusus. Secara etimologi, Sasadu berasal dari kata sadu yang dalam bahasa Sahu tidak punya arti apapun, sedangkan dalam bahasa Ternate artinya adalah menimba, dan sado berarti lengkap, genap bilangannya. Sasadu dibangun di bagian tengah kampung atau desa dengan lokasi yang tidak jauh jalan. Hal ini dimaksudkan agar Sasadu bisa dijangkau dengan mudah sehingga orang-orang dari seluruh penjuru kampung bisa mendatanginya untuk berkumpul.
Sebagai produk budaya, Sasadu tidak luput dari perubahan. Bagaimana perubahan ini eksis di antaranya terlihat dari atap rumah yang dulunya biasa dibuat dari atap daun sagu, kini berganti dengan material seng. Perubahan ini disinyalir adalah dampak dari masuknya bangsa Barat dan agama Kristen ke Halmahera. Di sisi lain, perubahan ini bukannya tidak terpantau oleh masyarakat karena ada pula keinginan untuk mempertahankan arsitektur rumah Sasadu agar jati diri sebagai orang Sahu tidak hilang. Sasadu sendiri memang merupakan salah satu bagian dari alur perkembangan budaya Sahu dalam sejarah perkembanganna. Sebelum ada Sasadu, masyarakat setempat tinggal di dalam rumah-rumah "koseba" di hutan. Rumah ini didirikan di atas tiang-tiang pancang yang ditancapkan ke tanah.
Rumah adat Hibualamo
Hibualamo adalah sebutan rumah adat suku bangsa klan/hoana yang bermukim di Halmahera. Hibualamo diperkirakan telah ada sejak tahun 1400an. Secara harfiah Hibualamo terdiri dari dua kata yaitu Hibua yang berarti Rumah dan Lamo yang berarti Besar.
Bentuk asli rumah adat ini berada di Pulau Kakara, Halmahera Utara dan biasa disebut Rumah adat Hibualamo Tobelo. Rumah adat Hibualamo didirikan kembali pada bulan April 2007 sebagai simbol perdamaian pasca konflik SARA pada tahun 1999 – 2001. Pembangunannya pun mengalami perkembangan dibandingkan bentuk aslinya yang berupa rumah panggung.
Bangunan rumah adat Hibualamo dibangun dengan banyak symbol yang memiliki arti tersendiri yang berhubungan dengan persatuan. Konstruksi rumah adat menyerupai perahu yang mencerminkan kehidupan kemaritiman suku Tobelo dan Galela yang ada di pesisir. Bangunannya memiliki bentuk segi 8 dan memiliki 4 pintu masuk yang menunjukkan simbol empat arah mata angin dan semua orang yang berada didalam rumah adat saling duduk berhadapan yang menunjukkan kesetaraan dan kesatuan.
Pada rumah adat Hibualamo terdapat 4 warna utama yang masing – masing memiliki arti. Warna merah mencerminkan kegigihan perjuangan komunitas Canga, warna kuning mencerminkan kecerdasan, kemegahan dan kekayaan. Warna hitam mencerminkan solidaritas dan warna putih mencerminkan kesucian.
Rumah adat Fola Sowohi
Fola Sowohi adalah rumah adat suku Tidore. Kata Fola Sowohi, berasal dari kata Fola dan Sowohi. Kata Fola berasal dari bahasa Tidore, yang berarti rumah, sedangkan Sowohi berarti tuan rumah. Secara utuh Fola Sowohi berarti rumah. Atap rumah Fola Sowohi terbuat dari rumbia yang konstruksi bangunannya melambangkan kekayaan budaya. Fola Sowohi memiliki simbol arsitektur utama (sentral) yang ada di Tidore. Fola Sowohi berfungsi sebagai tempat musyawarah dan pelaksanaan upacara adat yang berkaitan dengan ritual magis. Bangunan Fola Sowohi berbentuk bidang geometris empat persegi panjang. Fola Sowohi berlantai tanah.
33. Rumah Adat Provinsi Papua Barat
Rumah Kaki SeribuRumah Kaki Seribu atau (bahasa lokal: Mod Aki Aksa) adalah rumah adat asli dari penduduk Suku Arfak yang menetap di Kabupaten Manokwari, Papua Barat.
Rumah adat tersebut dijuluki demikian karena menggunakan banyak tiang penyangga di bawahnya, sehingga jika dilihat memiliki banyak kaki seperti hewan kaki seribu. Sedangkan untuk bagian atapnya dibuat dari daun jerami atau daun sagu. Sementara untuk tiangnya menggunakan kayu, yang terdiri dari kayu berukuran tinggi dan pendek. Fungsi dari tiang kayu tersebut adalah untuk melindungi penduduk dari serangan musuh dan ancaman ilmu hitam. Rumah adar kaki seribu berjenis rumah panggung dan memiliki corak khas Manokwari.
Rumah adat Kaki Seribu pada umumnya dipakai oleh penduduk yang tinggal di daerah pegunungan dan berhawa dingin. Rumah ini dibuat berukuran tinggi untuk menghindari serangan hewan buas. Rumah ini juga tidak memiliki jendela, hal ini dimaksudkan agar suhu di dalam rumah tetap hangat.
Rumah Adat Kaki Seribu pada umumnya memiliki ukuran 8 x 6 meter. Tinggi panggung jika diukur dari dasar tanah yaitu sekitar 1 - 1,5 meter. Tinggi puncak atap berkisar antara 4,5 - 5 meter. Untuk tiang terbuat dari kayu berdiameter 10 cm. Tiang - tiang fondasi bangunan rumah adat tersebut memiliki jarak yang sangat dekat antar satu tiang dengan tiang lainnya, yaitu berjarak sekitar 30 cm. Untuk lantai dan dinding, dibuat dari kulit kayu yang dilebarkan dan diikat dengan rapat, lalu dibalut dengan batang - batang kayu yang berukuran lebih kecil. Sedangkan untuk atapnya, dibuat dari daun jerami/ilalang atau sagu yang diikatkan pada penyangga yang juga terbuat dari kayu. Sambungan kayu tiang, lantai, dinding, dan atap diikat dengan menggunakan tali serat rotan dan serat kulit kayu. Dengan demikian kesan yang ditimbulkan adalah kuat dan alami.
Karena Rumah Adat Kaki Seribu tidak memiliki jendela, maka satu-satunya jalan untuk menciptakan sirkulasi udara adalah melewati pintu. Rumah tersebut memiliki dua pintu, yakni pintu depan dan pintu belakang. Isi rumah tidak terbagi menjadi kamar - kamar seperti rumah modern tapi dibagi menjadi dua bagian. Bagian kiri untuk kaum wanita (ngimsi), sedangkan bagian kanan untuk kaum pria (ngimdi). Di dalamnya juga terdapat perapian untuk menghangatkan seisi ruangan. Sama dengan rumah panggung tradisional lainnya, Rumah Adat Kaki Seribu biasanya dihuni oleh beberapa keluarga yang tinggal bersama di dalamnya.
Bagi masyarakat Arfak, Rumah Adat Kaki Seribu merupakan tempat bernaung, mendidik anak dan kegiatan pesta. Terdapat celah - celah di lantai yang memungkinkan udara masuk ke dalam rumah sehingga sirkulasi udara dapat terjaga dengan baik. Di dalamnya terdapat sebuah kolong yang luas untuk dijadikan sebagai kandang ternak. Di suatu bagian khusus terdapat sebuah ruang untuk upacara dan pesta adat. Di bagian tengah rumah tersebut tidak dilapisi dengan kayu, sehingga jika ada pesta berupa tarian bisa dilakukan di atas tanah. Namun pada akhir - akhir ini, keberadaan rumah adat tersebut sudah jarang ditemukan karena banyak orang di kampung itu lebih suka membangun rumah modern yaitu rumah berlantai semen, berdinding batako, beratap seng, dan memiliki jendela.
Rumah adat Jew
Rumah Jew atau dikenal sebagai Rumah Bujang merupakan salah satu rumah adat yang berasal dari Suku Asmat, khususnya dari ibu kota provinsi Papua Barat yaitu Agats. Rumah Jew yang memiliki beberapa nama lain yaitu Je,Jeu,Yeu, atau Yai ini merupakan rumah panggung berbentuk persegi panjang yang terbuat dari kayu dan dinding beserta atapnya terbuat dari daun pohon sagu atau pohon nipah yang telah dianyam. Hal unik yang terdapat dalam Rumah Jew ini adalah sama sekali tidak menggunakan paku melainkan menggunakan akar rotan sebagai penghubung. Disebut sebagai Rumah Bujang karena dalam rumah inilah tempat berkumpulnya laki-laki yang belum berkeluarga atau yang masih berstatus bujang. Anak-anak dibawah umur 10 tahun, wanita tidak perbolehkan masuk kedalam Rumah Jew ini.
Rumah adat Kambik Kambik adalah rumah adat yang dijadikan sebagai tempat penyelenggaraan pendidikan adat Suku Moi. Pendidikan adat tersebut merupakan pendidikan yang diselenggarakan sebelum masuknya agama Kristen ke tanah Malamoi. Para pemuda Moi dididik untuk menjadi anggota dewan adat atau pemimpin adat.
34. Rumah Adat Provinsi Papua
(Termasuk Papua Selatan, Papua Tengah, Papua Pegunungan dan Papua Barat Daya)Rumah Honai
Honai adalah rumah Adat Papua pada khususnya di Bagian Penggunungan. Papua terkenal dengan budayanya yang berakena ragam dan bahkan sebagaian dari masyarakatnya masih memegang kuat kebudayaannya. Ada satu hal yang perlu kita ketahui tentang papua yaitu mengenai rumah adatnya.
Honai merupakan rumah mungil yang unik dengan bentuk seperti jamur. Ya, rumah ini memiliki bentuk dasar lingkaran dengan rangka kayu berdinding anyaman dengan atap kerucut yang terbuat dari jerami. Tingginya hanya 2,5 meter yang jika dilihat dari udara terlihat seperti jamur berwarna cokelat kehitaman berjajar di sepanjang lembah.
Struktur bangunan Rumah Honai terdiri dari dua lantai dan terbuat dari kayu dengan atap berbentuk kerucut yang terbuat dari jerami atau ilalang. Lantai pertama biasanya terdiri dari kamar-kamar dan digunakan sebagai tempat tidur, dan lantai kedua digunakan sebagai tempat beraktifitas: ruang santai dan lain-lain. Honai sengaja dibangun sempit atau kecil dan tidak berjendela yang bertujuan untuk menahan hawa dingin pegunungan Papua. Selain itu di tengah-tengah rumah Honai ada tempat pembakaran api unggun yang juga berfungsi sebagai penghangat. Tinggi bangunannya sekitar 2,5 meter.
Tipe Rumah Adat Honai, Rumah Honai terbagi dalam tiga tipe, yaitu : pertama Untuk kaum laki-laki (Honai Laki-Laki) kedua : Wanita (disebut Ebei atau Honai Prempuan), ketiga Rumah untuk ternak juga untuk tempat bersantai.
elain Berfungsi untuk tempat tinggal, Rumah Adat Honai juga berfungsi sebagai tempat menyimpan peralatan perang atau berburu, Tempat melatih anak laki-laki mereka agar menjadi orang yang kuat, sehingga Saat dewasa nanti dapat melindungi sukunya, Dijadikan sebagai tempat untuk menyusun strategi perang, Dijadikan Tempat menyimpan segala peralatan atau simbol dari adat suku warisan nenek moyang.
Rumah Adat Kariwari
Rumah Kariwari adalah salah satu rumah adat khas Papua, lebih tepatnya adalah rumah adat dari Suku Tobati-Enggros yang bermukim di sekitar Teluk Yotefa dan Danau Sentani, Jayapura. Berbeda dengan bentuk rumah adat Papua lainnya - seperti honai yang berbentuk bulat - rumah Kariwari berbentuk limas segi delapan. Rumah Kariwari biasanya terbuat dari, bambu, kayu besi dan daun sagu hutan. Rumah Kariwari terdiri dari dua lantai dan tiga kamar atau tiga ruangan, dengan fungsi yang masing-masing berbeda.
Rumah Kariwari tidak seperti halnya rumah honai yang bisa ditinggali oleh siapa saja, bahkan tidak bisa pula menjadi rumah tinggal kepala suku - tidak seperti rumah honai yang memiliki fungsi politik dan hukum. Rumah Kariwari lebih spesifik sebagai tempat edukasi dan ibadah, oleh karena itu posisi rumah Kariwari dalam masyarakat Suku Tobati-Enggros dianggap sebagai tempat yang sakral dan suci.
Bentuk arsitektur rumah Kariwari terbilang cukup unik, karena bentuknya limas segi delapan. Dengan bentuk rumah yang sedemikian rupa, maka rumah Kariwari cukup kuat untuk bertahan dalam cuaca, terutama saat cuaca sedang berangin. Selain efektif dalam menahan angin, bentuk limas segi delapan yang berujung lancip juga bermakna kedekatan manusia dengan Sang Pencipta dan para leluhur.
Rumah Adat Rumsram
Rumah adat Rumsram adalah rumah adat suku Biak Numfor di pantai Utara Papua. Rumah ini aslinya ditujukan untuk kaum laki-laki. Sama halnya dengan Kariwari, perempuan dilarang masuk atau mendekati rumah ini. Fungsinya pun mirip, sebagai kegiatan dalam mengajar dan mendidik para lelaki yang mulai beranjak remaja, dalam mencari pengalaman hidup.
Bangunannya berbentuk persegi dengan atap berbentuk perahu terbalik. Bentuk ini tak terlepas dari mata pencaharian mereka sebagai pelaut.
Material yang digunakan adalah kulit kayu untuk lantai, bambu air yang dibelah dan dicacah-cacah untuk dinding, atapnya terbuat dari daun sagu yang telah kering. Dindingnya terbuat dari pelepah sagu. Dinding rusmram aslinya hanya ada sedikit jendela dan posisinya di depan dan belakang.
Rumsram memiliki tinggi kurang lebih 6—8 m dan dibagi menjadi 2 bagian yang dibedakan dengan tingkatan lantainya. Lantai 1 sifatnya terbuka dan tanpa dinding. Hanya kolom-kolom bangunan yang terlihat. Di tempat inilah, para lelaki dididik belajar memahat, membuat perisai, membuat perahu, hingga teknik perang.
Sumber : Wikipedia.org